Mohon tunggu...
Riswandi
Riswandi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menyemai Kisah, Menuai Hikmah

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Saat Cinta Menyapa

17 November 2010   01:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:33 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Coba buang semua keluh dalam hati yang resah. Biarkan suasana menuntunmu tuk menemukan cinta sejati. Dengarkan bisikan nurani untuk tentukan arah hidupmu. Biarkan simpul-simpul syaraf cintamu menerjemahkan kebutuhan jiwamu. Bebaskan jiwamu untuk menentukan respons atas itu semua. Hingga suatu saat engkau tahu, bahwa cinta itu tidak berdusta.

Jalan cinta tidak selamanya lurus mendatar. Ada kalanya jalan itu menanjak tinggi, hingga perlu banyak energi untuk mendakinya. Kadang kala jalan itu menukik tajam, hingga kita harus penuh perhitungan untuk menuruninya. Namun, perlu engkau tahu, energi untuk mendaki itu berasal dari cinta. Dan, perhitungan yang tepat juga berasal dari cinta. Maka, muliakanlah cinta. Karena cinta, kita ada.

Perjalanan cinta berawal dari pandangan dan perkenalan. Sinar memesona dari wajah pasanganmu akan tersimpan di bilik-bilik otakmu. Tak mudah dilupakan, itu kenyataannya. Jabat tangan saat perkenalan, membawa getar-getar kerinduan yang kita sendiri tidak tahu sebabnya. Satu kata yang terucap saat menyebut nama, bak salju yang turun di padang pasir. Sejuk. Dan tanpa kita sadari, buluh-buluh lembut di badan kita serentak berdiri. Seolah mengucapkan selamat datang cinta.

Kencan pertama membuatmu bingung. Tak ada pakaian yang pantas, itu alasanmu. Padahal cinta tidak memandang sandang. Bingung, tak sepatah kata pun terucap dalam beberapa lama. Kita sama-sama hanyut dalam kebahagiaan yang terasa di hati. Cinta tidak membutuh kata-kata. Itu alasanmu. Alasan sebenarnya adalah karena kamu tak mampu membuka mulutmu. Dan sekali lagi, kamu tak tahu apa penyebabnya. Cinta tidak perlu sebab, karena cinta bukan kausalitas.

Saat kata cinta terlontar pertama kalinya, kamu merasa tak lagi menginjak bumi. Terbang, melayang, dan hilang menyibak awan gelap. Sinar mentari yang tertutup, kini mulai menampakkan semburatnya. Tapi tidak panas. Silau memang, tapi itulah yang membuat kita hidup. Ya, cinta membuat kita hidup.

Perpisahan membawa kerinduan. Sakit tapi nikmat, itulah rindu. Saat kerinduan tak segera terobati, hanya sakit yang kamu rasa. Walau begitu, tidak ada rasa menyesal karena merindukan. Pertemuan adalah tabib yang mampu mengobati rindu. Laksana sinar dari sebuah benda bertemu mata. Saat itulah, benda menampakkan dirinya dalam keadaan terbalik. Syaraf-syaraf mata kemudian mengirimkan pesan ke otak, hingga terbukalah tabir yang menutupinya. Dan mata akan selalu menyimpan memori itu hingga batasan yang tak terhitung. Ia takkan pernah salah menyebut nama benda tersebut. Dalam suatu pertemuan, kesan mendalam akan tertanam di sanubari orang yang saling jatuh cinta. Takkan hilang dan lekang terkikis jaman. Dan rindupun merindukan pertemuan.

Adakah cinta sejati di dunia ini? Sebelum menjawabnya, kita harus tahu hakikat cinta sejati itu seperti apa. Apakah cinta sejati seperti matahari yang menyinari bumi? Ataukah seperti bintang yang menghias malam kelam. Mungkinkah seperti air hujan yang menyejukkan di musim kemarau? Tidak, cinta sejati tidak seperti itu. Tidak seperti matahari, bintang, hujan, atau apa pun. Cinta bukanlah matahari, bintang, atau hujan tersebut. Namun, karena cintalah, matahari menyinari alam semesta. Karena cintalah sang bintang menghiasi malam kelam. Dan karena cinta pula hujan di musim kemarau terasa menyejukkan. Itulah cinta sejati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun