Mohon tunggu...
Ristia Nurul
Ristia Nurul Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Bahasa Dan Sastra Indonesia

Anak bungsu, punya kakak laki-laki, penggemar idol kpop apalagi haechan, doekyeom, jeongwoo, gyuvin. Motto hidup "jangan menyerah sebelum jadi pacar idol kpop" udah sih gitu aja, bingung soalnya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gerimis dan Kesepian dalam Cerpen Ketika Gerimis Jatuh Karya Sapardi Djoko Damono

18 Desember 2023   14:00 Diperbarui: 18 Desember 2023   14:17 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sapardi Djoko Damono (SDD) adalah seorang penyair, dosen, pengamat sastra, kritikus sastra, dan pakar sastra Indonesia yang terkenal dengan karya-karya puisinya yang indah dan menyentuh. SDD lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada 20 Maret 1940, sebagai anak pertama dari pasangan Sadyoko dan Saparian. Sapardi sudah mulai menulis puisi sejak masa SMA dan karyanya sering dimuat dalam majalah-majalah. SDD juga mendapat banyak penghargaan, antara lain; Cultural Award (Australia, 1978), Anugerah Puisi Putra (Malaysia, 1983), SEA Write Award (Thailand, 1986), Anugerah Seni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990), Kalyana Kretya dari Menristek RI (1996), Achmad Bakrie Award (Indonesia, 2003), Akademi Jakarta (Indonesia, 2012), Habibie Award (Indonesia, 2016), dan ASEAN Book Award (2018).

Cerpen Ketika Gerimis Jatuh adalah salah satu karya sastra yang ditulis oleh SDD, seorang penyair, dosen, dan kritikus sastra Indonesia yang terkenal dengan puisi-puisinya yang sederhana namun memiliki arti yang sangat mendalam. Cerpen ini dimuat dalam Koran Tempo pada tanggal 11 Mei 2003 dan merupakan salah satu dari 15 cerpen yang terdapat dalam buku Duka-Mu Abadi yang diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2004. Cerpen ini menceritakan tentang seorang gadis kecil bernama Rini yang merindukan ayahnya yang akan pulang kehujanan karena lupa membawa payung. Cerpen ini menggambarkan perasaan kesepian, kecemasan, dan kasih sayang yang dialami oleh Rini dalam kesendiriannya di rumah.

Dalam cerpen Ketika Gerimis Jatuh tokoh utama, Rini, sering merasa kesepian karena orang tuanya dahulu sering bepergian dan tidak memberikan banyak perhatian seperti waktu Rini masih kecil. Ia sangat merindukan kasih sayang dari orang tuanya yang sudah meninggal. Ia mencoba mencari hiburan dengan bermain-main dengan gerimis yang sering turun di kota tempat ia tinggali sekarang.

Dalam cerpen ini juga menceritakan bagaimana kehidupan Rini sebelum dan sesudah menikah, bagaimana hari-harinya yang penuh kasih sayang dari kedua orang tuanya. Cerpen ini juga menggunakan teknik alur mundur (flashback) untuk menceritakan latar belakang Rini dan keluarganya untuk mengungkapkan masa lalu Rini yang penuh dengan kenangan dan kesenangan bersama orang tuanya dan juga gerimis.

Dalam cerpen Ketika Gerimis Jatuh terdapat tiga tokoh utama, yaitu Rini, ayahnya, dan gerimis. Rini adalah tokoh yang digambarkan sebagai wanita muda yang cantik, lembut, dan penyayang. Ia memiliki karakter yang "melankolis" dan "sensitif". Ayahnya adalah tokoh yang digambarkan sebagai pria yang cukup sibuk, penyayang, dan sangat peduli terhadap perasaan Rini. Ia memiliki karakter yang "realistis" dan "rasional". Gerimis adalah tokoh figuran yang berperan sebagai simbol dan metafora dari kesepian dan kasih sayang. Gerimis digambarkan sebagai sesuatu yang lembut, sejuk, dan menyenangkan. Gerimis memiliki karakter yang "romantis" dan "misterius".

Dalam cerpen Ketika Gerimis Jatuh memiliki tiga latar, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar suasana. Latar tempat adalah kota yang sering diguyur gerimis dan rumah masa kecil Rini. Latar waktu adalah masa kini dan masa lalu. Latar suasana adalah suasana yang suram, sepi, dan dingin.

Suatu hari dalam kesendiriannya karena gerimis dan teman-temannya tidak datang bermain ke rumahnya, Rini kecil tiba-tiba saja merasa rindu kepada ayahnya dan berpikir “Nanti kalau ayah pulang kehujanan, kasihan. Tadi lupa bawa payung.” Sang ayah biasanya akan pulang sekitar maghrib, angkot nomor D05 yang biasanya dinaiki sang ayah akan berhenti di jalan seberang sana, tepat di bawah sebuah pohon asam yang sudah berpuluh-puluh tahun berdiri dengan kokoh di sana. Para penumpang biasanya berteriak “Asem, asem.” Kemudian angkot pun akan berhenti tepat di bawah pohon rindang tersebut.

Keluarga Rini mendapatkan rumah di perumnas beberapa tahun lalu, tepatnya di pinggir kompleks, berbatasan dengan kampung. Ibu Rini seorang pegawai Pemda, gajinya kecil dan praktis hidup dari uang rapat. Ibu Rini sudah hampir seminggu tidak pernah pulang kerumah karena ia harus menjadi panitia penataran pegawai di luar kota, di daerah puncak.

Di sore hari yang gerimis, yang sesekali diselingi hujan, belum juga reda. Biasanya sang ibu yang suka menjemput ayahnya, jika sang ayah kebetulan lupa membawa payung, sedang di luar kota. Rini tanpa berpikir panjang karena rindu dan merasa kasihan pada sang ayah yang lupa membawa payung pun akhirnya mencari sepatu hujannya yang dahulu pernah dibelikan oleh pamannya yang bekerja sebagai wartawan, “Ini sepatu anak-anak Jepang jika musim dingin tiba.” Kata sang paman ketika ia kembali dari tugas di Negara Utara tersebut.

Rintik suara gerimis masih terdengar, sesekali diselingi hujan. Rini bermonolog dengan perasaan yang gelisah “Kasihan ayah, nanti basah kuyub, nanti pilek lagi seperti tempo hari.” Ia memegang payung yang biasa dibawa ayahnya. Dibukanya, lalu ditutupnya kembali. Dibukanya, lalu diputar-putarnya. Lalu ditutup kembali dengan sangat hati-hati, lalu ditaruhnya didekat pintu depan. Malam ini sang ibu tidak juga menelpon, padahal biasanya pada jam-jam begini sang ibu suka menelpon dari hotel dan menanyakan apa semua sudah makan, makan apa, atau hanya  sekadar menyuruh untuk memasak indomie saja jika sang ayah gadis itu tidak sempat membeli makanan di jalan pulang.

Rini, gadis kecil itu mulai merasakan suasana sepi yang muncul dari sela-sela cahaya sore yang redup dan gerimis. Ia akhirnya berketetapkan untuk menjemput sang ayah dan membawakan payung untuknya, ia tak mau melihat sang ayah selesma (infeksi virus rhinovirus, mirip dengan gejala flu) dan demam jika terkena gerimis senja. Sambil melewati pagar tanaman rumahnya, payung itu dibukanya. Sepanjang jalan semakin terasa suasana sepi, rumah-rumah tetangganya ditutup, tampaknya mereka menyekap anak-anaknya agar tidak bermain di luar saat gerimis dan menjelang Maghrib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun