Filosofi Bubur Sumsum dalam Budaya Lokal
Bubur sumsum bukan sekadar makanan, tetapi juga simbol kesederhanaan, kehangatan, dan kebersamaan. Di beberapa daerah, bubur ini diyakini membawa keberuntungan dan sering disajikan dalam ritual adat atau perayaan keagamaan. Warnanya yang putih melambangkan kesucian dan ketulusan, sementara kuah gula merah mencerminkan manisnya hidup dan rasa syukur.
Perkembangan Bubur Sumsum di Era Modern
Meski berasal dari tradisi kuno, bubur sumsum terus berkembang dan berinovasi. Kini, bubur sumsum hadir dalam berbagai varian seperti bubur sumsum hijau dengan daun pandan atau daun suji.
Ada pula bubur sumsum dengan topping biji salak, kolang-kaling, atau ubi. Dalam versi yang lebih modern, bubur sumsum hadir dengan tambahan susu kelapa, keju, atau buah segar.
Bubur sumsum juga menjadi takjil favorit saat Ramadan dan dijual di pasar tradisional hingga restoran modern. Digitalisasi kuliner turut mendorong popularitasnya melalui platform pemesanan makanan online dan konten media sosial.
Bubur sumsum adalah bukti bahwa kuliner tradisional Indonesia mampu bertahan dan beradaptasi lintas zaman. Dengan akar sejarah yang kuat, filosofi yang dalam, dan cita rasa yang khas, bubur sumsum tidak hanya menjadi makanan, tetapi juga simbol budaya dan identitas lokal.
Perkembangannya di era modern menunjukkan bahwa warisan kuliner seperti bubur sumsum tetap relevan dan dicintai oleh generasi masa kini. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI