Bagi banyak orang, program MBG adalah simbol harapan ''bahwa anak-anak dari keluarga sederhana juga bisa makan bergizi setiap hari''. Namun ketika harapan itu justru menimbulkan kerugian kesehatan, timbullah disonansi kognitif. Mengacu pada Teori Cognitive Dissonance  (Leon Festinger, 1957) adalah teori psikologi sosial yang menjelaskan ketegangan psikologis (rasa tidak nyaman) yang muncul ketika seseorang memiliki dua atau lebih keyakinan, sikap, atau perilaku yang saling bertentangan --- konflik antara keyakinan positif dan kenyataan negatif.
Sebagian orang lalu memilih menyangkal berita "Ah, mungkin hoaks", sebagian lagi membenarkan amarah mereka dengan menyerang pihak penyelenggara. Inilah dilema psikologis yang sering terjadi di masyarakat digital, bukan fakta yang lebih dulu diolah, melainkan perasaan.
Difusi Tanggung Jawab: Siapa yang Seharusnya Bicara?
Dalam setiap kebijakan berskala nasional, rantai birokrasi panjang berpotensi menciptakan "difusi tanggung jawab" (diffusion of responsibility). Setiap pihak --- dari kementerian, dinas daerah, hingga penyedia katering --- merasa bukan satu-satunya yang harus bertanggung jawab. Akibatnya, tidak ada yang bicara secara tegas.
Dari sisi psikologi sosial, kondisi ini serupa dengan bystander effect (Latan & Darley, 1968) semakin banyak pihak terlibat, semakin kecil kemungkinan seseorang bertindak. Inilah paradoks kebijakan publik kita: makin banyak institusi yang "ikut andil", makin kabur siapa yang benar-benar peduli. Padahal, bagi publik, tanggung jawab moral tidak bisa dibagi rata. Kepercayaan publik dibangun oleh kejelasan, bukan oleh banyaknya pejabat yang berjanji.
Efek Domino di Dunia Maya: Social Proof dan Stigma Kolektif
Di era media sosial, satu video siswa pingsan di sekolah bisa memicu kepanikan nasional dalam hitungan menit. Fenomena ini sesuai dengan konsep Social Proof menurut Robert B. Cialdini (1984) Social Proof atau Bukti Sosial adalah fenomena psikologis di mana individu meniru atau mengikuti perilaku orang lain dalam situasi tertentu, dengan anggapan bahwa tindakan orang lain merupakan panduan yang benar, tepat, atau diterima secara sosial --- di mana orang cenderung meniru opini mayoritas karena dianggap valid. Akibatnya, meski hanya sebagian kecil sekolah yang terdampak, publik terlanjur membangun citra negatif bahwa seluruh program MBG "tidak aman".
Jika terus berulang, maka terbentuklah labeling sosial. Labeling Theory atau Teori Pelabelan Sosial (Frank Tannenbaum, 1938) adalah teori yang menjelaskan bahwa penyimpangan (deviance) atau identitas sosial seseorang terbentuk bukan semata karena perilaku mereka, tetapi karena "label" atau cap yang diberikan masyarakat terhadap perilaku tersebut. Sama halnya dengan program pemerintah dianggap gagal, meski penyebabnya belum tentu sistemik.
Stigma semacam ini berbahaya karena dapat menghambat keberlanjutan kebijakan publik, sekaligus melemahkan semangat gotong royong antara masyarakat dan pemerintah.
Mengembalikan Kepercayaan Secara Kolektif
Teori Elaboration Likelihood Model (Petty & Cacioppo, 1980)Â menjelaskan bahwa dalam proses persuasi publik, ada dua jalur: central route dan peripheral route.
Jika masyarakat punya motivasi dan kemampuan berpikir kritis, mereka akan menilai program MBG secara mendalam (central route). Namun, jika emosional dan tidak punya informasi cukup, mereka akan terpengaruh oleh isyarat dangkal seperti "berita viral" atau "testimoni negatif" (peripheral route).