Oleh:Â
Rissa Riswandana, S.Psi
Mahasiswa Magister Sains PsikologiÂ
Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur
Beberapa waktu terakhir, linimasa media sosial dan pemberitaan nasional dihebohkan oleh kabar ratusan siswa diduga keracunan setelah mengonsumsi makanan dari Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program yang digadang sebagai terobosan untuk meningkatkan kualitas gizi anak sekolah kini justru menuai kontroversi: antara niat baik negara dan realita di lapangan yang pahit. Alih-alih menumbuhkan kepercayaan, program ini justru menyisakan luka: sedikitnya 1.376 siswa di berbagai daerah dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan dari paket MBG.
Kita tentu sepakat bahwa ide MBG ini mulia. Di tengah meningkatnya angka stunting dan kesenjangan ekonomi, hadirnya makanan bergizi gratis di sekolah semestinya menjadi bentuk nyata kehadiran negara. Namun, ketika muncul kasus keracunan massal, narasi positif itu berubah menjadi krisis kepercayaan publik. Fenomena ini lebih dari sekadar kasus teknis distribusi makanan. Ia mencerminkan bagaimana psikologi sosial bekerja dalam kebijakan publik: bagaimana masyarakat membentuk persepsi, menyalahkan, dan bereaksi secara kolektif terhadap kegagalan institusi.
Ketika "Gratis" Dipersepsikan Sebagai "Berisiko"
Masyarakat kita masih menyimpan trauma terhadap berbagai program sosial yang gagal karena lemahnya pengawasan dan distribusi. Maka tak heran, ketika berita tentang siswa keracunan menyebar, publik langsung bereaksi keras. Banyak orang tua mulai ragu, sebagian bahkan melarang anaknya makan dari program sekolah. Ironisnya, program yang seharusnya menumbuhkan rasa aman justru menimbulkan kecemasan baru.
Fenomena ini bisa dijelaskan lewat Teori Atribusi Sosial (Heider Kelley, 1958) yang menjelaskan kecenderungan manusia untuk mencari "siapa yang salah" dalam setiap peristiwa negatif. Masyarakat cenderung mencari "kambing hitam" cepat atas peristiwa buruk. Tanpa menunggu hasil investigasi, tudingan pun diarahkan ke pemerintah, sekolah, atau pihak catering. Padahal, keracunan massal adalah fenomena kompleks---bisa disebabkan oleh rantai distribusi, penyimpanan, hingga kondisi sanitasi lokal.
Kecenderungan ini membuat ruang komunikasi publik dipenuhi kemarahan, bukan dialog. Media sosial memperkuat bias itu lewat efek gema (echo chamber), di mana opini yang seragam saling menguatkan tanpa diverifikasi fakta.
Disonansi Kognitif: Antara Harapan dan Realitas