Mohon tunggu...
risna risna
risna risna Mohon Tunggu... Mahasiswa Strata-1 Sejarah Peradaban Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia

Saya adalah mahasiswa aktif Program Studi Sejarah Peradaban Islam di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) sekaligus mahasantri penerima Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) di PPMNU-UNUSIA. Memiliki minat besar di bidang videografi dan konten digital, saya mengembangkan potensi sebagai konten kreator yang tidak hanya kreatif, tetapi juga berlandaskan nilai-nilai kesantrian. Selain fokus dalam studi, saya aktif dalam berbagai organisasi dan kepemimpinan. Saat ini saya menjabat sebagai Ketua Biro Media dan Jaringan KOPRI PMII Rayon Nusantara, Ketua Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia CSSMoRA UNUSIA, serta menjadi konten kreator dalam tim PMB UNUSIA. Saya juga tergabung sebagai anggota Pengurus Himpunan Mahasiswa Tjianjoer (HIMAT) Cabang Jakarta dan menjabat sebagai Ketua Media Informasi di Unit PSNU Pagar Nusa UNUSIA. Dengan latar belakang pesantren, pengalaman organisasi, dan keterampilan digital yang terus diasah, saya berkomitmen untuk terus berkarya dan berkontribusi secara aktif di ruang sosial, dakwah, dan kebudayaan digital.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Nama yang Sama

25 Juni 2025   18:00 Diperbarui: 25 Juni 2025   15:28 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

PROLOG

“Sebab sudah terbiasa dengan luka, menyembuhkannyapun aku tidak perlu berusaha”

-Rania Nala Firdaus

Cahaya shubuh masih malu-malu menyingsing, rasanya gadis itu pun baru saja memejamkan matanya beberapa menit yang lalu, tetapi gendang telinganya seakan mau pecah, retak tak terdengar hancur tanpa suara, jelas sakit tentu. Pasalnya hanya soal waktu Ibu sambungnya meneriakinya teramat kencang berkali-kali sepagi itu. “HEHH … KAU PULANG HANYA UNTUK INI?! HARUS BERAPA KALI SAYA BILANG, YANG TINGGAL DIRUMAH INI, HARUS SUDAH BEROPERASI SEJAK DINI HARI …” dia tetap berusaha tidak mendengarkan omelan selanjutnya dengan cara melingkarkan bantal guling ditelinga. Tetapi wanita paruh baya itu bukan tandingan bantal guling itu, kali ini teriakan itu ditemani gedoran pintu berulang kali, aihh bukan main iramanya sungguh tidak masuk ditelinga gadis penyuka lagu-lagu Indie ini. “SEGERA LAKUKAN YANG AKU PERINTAHKAN SEMALAM! KAKAMU PULANG HARI INI …” hah kakakku? Sejak kapan? Memangnya aku pernah ia anggap anak, gerutu gadis itu dalam hati. “iya Mah, lima menit lagiii!!” tetapi kata-kata itu yang berhasil ia teriakan dari dalam kamar.

“LIMA MENIT LIMA MENIT, TIDAK ADA! SAYA YAKIN LIMA MENITMU IALAH LIMA JAM!” mengapa orang tua itu keras kepala sekali, batinnya. “ANAK PEREMPUAN ITU HARUS RAJIN RAINA! KODRATNYA MEMBERSIHKAN RUMAH, MEMASAK, MENCUCI, ITU SUDAH TUGASMU, JANGAN MENTANG-MENTANG BERPENDIDIKAN TINGGI LANTAS KAU …” belum selesai wanita itu meneriakan omelannya pintu sudah dibuka dengan kasar oleh gadis bernama Rania yang sejak tadi diteriakinya,

“Bu, kenapa sih ibu selalu bilang kalau pekerjaan rumah itu tugasnya aku, perempuan? Siapa yang menetapkan kalau itu kodrat? Bukannya pekerjaan rumah itu soal keterampilan, harusnya kaka juga seorang lelaki bisa ibu suruh memasak, mencuci, menyapu, mengerjakan seluruh pekerjaan rumah yang ibu bebankan semua padaku itu. Ini bukan sesuatu yang hanya bisa dilakukan perempuan! Kalau semua ibu berfikiran seperti Ibu, perempuan akan terus terbebani dengan dua peran sekaligus!” tegas gadis itu berapi-api.

Wanita paruh baya itu tersenyum sinis, sembari mengangguk-angguk ringan,“Ooh … bagus yaa sekarang, kamu sudah bisa melawan perintah saya? Susah-susah disekolahkan tinggi-tinggi …”

“Susah katamu, Bu? Sejak kapan aku menyusakan Ibu? Ayah? Atau bahkan kakak yang selalu ibu banggakan itu?” Sela Rania dengan suara bergetar menahan emosi,”Mohon maaf jika aku terkesan lancang telah memotong perkataan ibu yang tidak benar itu, tapi saya tegaskan pada Ibu Damayanti bahwa SAYA TIDAK PERNAH MERASA MENYUSAHKAN SIAPAPUN SELAIN ALMARHUMAH NENEK!” dengan penuh penekanan.

Tidak seperti biasanya, pagi ini emosinya meledak tidak terkontrol, teriakan didepan pintu kamar yang dilakukan ibu sambungnya itu memang sudah menjadi rutinias setiap ia pulang libur semester. Tetapi tidak seperti pagi ini, biasanya Rania hanya menjawab omelannya itu dengan anggukan jika dirasa benar dan menggeleng jika ia tidak setuju dan tidak benar menurutnya. Sesekali menyanggah juga sudah biasa tentunya, tapi ia tidak pernah berani menaikan suaranya seperti hari ini.

“Apakah saya menyakiti hatimu Rania?” akhirnya Yanti bersuara dengan pelan, Weh akhirnya aku berhasil menurunkan volume toa ini, mungkin itu batin Rania jika suasana hatinya sedang baik-baik saja, tetapi tidak untuk kali ini,

“Iya, Mama menyakiti saya …” jawaban itu tak pernah Yanti duga sama sekali,”bahkan sejak saya berumur delapan tahun..” hening, Yanti tak pernah menyangka bahwa ia menyimpan rasa sakitnya sejak belasan tahun lalu.

“Tapi tenang, Ma. Mama tidak usah bersusah payah meminta maaf atau bahkan hanya sekedar memikirkan perasaanku, sebab aku sudah terbiasa dengan luka ini, jadi mama tidak perlu berusaha menyembuhannya …” Yanti masih tetap mematung, ia sama sekali tidak paham dengan apa yang dikatakan anak tirinya itu. Rania menyeringai, “sudahlah Ma, mari saya kerjakan semua yang Mama perintahkan itu.” Sembari berlalu meninggalkan Yanti yang terdiam diri ditempat sejak beberapa menit yang lalu. Rania pagi ini sungguh bukan Rania yang biasa ia hadapi. Apa yang sedang terjadi? Batin Yanti.

***

“Waaah … hari ini ibu masak apa? Wanginya sudah tercium sejak Iwan masih didepan pintu.” Ucap anak lelaki yang sedang mencuci tangan di wastafel karena baru pulang dari kebun bersama Ayahnya.

“Bau Peapi kesukaanmu, Nak.” Jawab ibunya sembari menyajikan makanan itu ke mangkuk berukuran sedang. Demi melihat ibunya kepanasan mengangkat wajan Iwan bergegas,

“Sini biar Iwan bantu Bu?!” Pintanya hampir merebut wajan dengan tangan kosongnya. “E’eh tidak usah Iwan, ini panas! Ibu sudah terbiasa, lagi pula ibu memakai kain lap. Sudah sudah Iwan duduk saja.” Larang ibu sambil terus melanjutkan aktivitasnya. Iwan menurut untuk tidak membantu kali ini benar juga panas yaa, itu baru diangkat dari kompor hehe Batinnya, ia pun duduk dikursinya,

“Iwan Iwan, sejak kecil hobi sekali membantu, direpotkan Ibu sudah sepeerti makanan sehari-hari saja kamu ini. Padahal tidak semua hal bisa kamu lakukan, Nak.” Bergeleng kecil dan tersenyum tipis sembari menyendukkan nasi untuk Iwan, “Dan sekarang tidak terasa sudah besar kamu Nak, sudah bisa merantau meninggalkan Ayah Ibu …”

“Iwan gaakan pernah ninggalin Ayah Ibu kesayangan Iwan, Buu … Ini cuma sementara, pada akhirnya aku pasti akan selalu pulang pada Ibu dan Ayah, ke rumah ini, karena memang cuma itu tujuanku.” menyela lembut,

Ibu menatap wajah Iwan Lekat-lekat, “Kamu tidak pernah berhenti membuat ibu terharu sayang …” Ibu meraih tangan Iwan yang duduk diseberang, mereka dipisahkan meja makan berukuran minimalis yang benar-benar hanya cukup untuk bertiga saja, ibu memegang tangan Iwan dengan erat, “Ibu selalu bangga punya anak sepertimu, gak jarang kamu lebih mementingkan Ayah dan Ibu dibanding dirimu sendiri. Bahkan saat merantau sekalipun, Iwan tidak luput terahadap Ayah Ibu. Tapi Nak … dengarkan Ibu,  jangan menjadikan kami satu-satunya tujuan hidupmu! Tugas kami merawat dan membesarkanmu dengan baik, tapi tidak dengan mengikatmu disini. Iwan harus menjalani takdirmu sendiri, Nak.” Ada apa ini Bu? Iwan gelisah, “Maksud Ibu, kebahagiaan Ibu adalah melihat kamu menjalani kehidupanmu dengan baik Nak, kamu sukses, bahagia, bekerja ditempat yang kamu sukai, menikahi perempuan yang kamu cintai, mempunyai keluarga kecil yang bahagia, itu sudah menjadi bentuk baktimu pada Ayah dan Ibu, kami tidak mau menjadi alasan kamu menunda kebahagiaanmu, Iwan.”

Iwan melepas pegangan Ibu serta beranjak dari kursi, dan memeluk ibunya.“Ibu kenapa ngomong gitu? Gaada alasan aku buat mengesampingkan Ayah Ibu, dan Iwan janji Bu, Iwan akan selalu bahagia.”

“Duhh Ibu sampai gabisa berkata-kata lagi. Omong-omong badanmu bau, abis dari kebun, main peluk-peluk Ibu aja … “ Iwan hanya bisa nyengir kuda melepaskan pelukannya, meski Ibunya bercanda tapi ia sadar bahwa badannya memang benar-benar kotor dan tentunya berkeringat karena sehabis mengerjakan pekerjaan berat bersama Ayahnya tadi, “yasudah, cepat panggil Ayahmu, kita makan bersama dulu, biar kamu bisa segera membersihkan diri setelah makan.”

“Insai, Indo’ masero’ku!” berjalan memanggil ayahnya sembari memberikan hormat tangan pada Ibu.

Setelah berbalik badan dan agak menjauh dari Ibunya, Iwan pun tidak sadar ia bergumam sendirian, “Apakah ini yang dinamakan firasat seorang Ibu? Ah, Rania …”

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun