Di sudut kelas yang redup cahaya, seorang remaja perempuan duduk dengan buku lusuh di pangkuannya. Matanya bergerak perlahan mengeja kata demi kata. Di meja guru, layar ponsel menyala terang - algoritma TikTok sedang bekerja keras merebut perhatian sang pendidik. Dua dunia ini hadir dalam satu ruangan: dunia literasi yang perlahan tenggelam, dan dunia digital yang rakus menelan waktu.
Ini bukan adegan film. Ini realitas di beberapa sekolah NTT yang terungkap dalam pemberitaan media Kompas dengan judul Ironi Literasi di NTT, Guru Main Tiktok sambil Memerintah Murid Baca Buku. Sebuah ironi yang menyakitkan: di tengah krisis literasi yang mencekik, guru yang seharusnya menjadi mercusuar pengetahuan - justru sibuk membangun persona di dunia maya. Dan murid? Mereka terus membaca, sendirian, tanpa pendamping.
Pertanyaannya bukan lagi "siapa yang salah?" - tapi "bagaimana kita bisa keluar dari lingkaran setan ini bersama-sama?"
Ketika Poster di Dinding Berteriak, Tapi Kelas Membisu
Di sebuah kelas di NTT, terpampang poster berwarna-warni bertuliskan "7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat: Disiplin, Jujur, Tanggung Jawab, Mandiri, Gotong Royong, Empati, Berpikir Kritis." Namun di sudut ruangan yang sama, realitas berbicara dengan bahasa berbeda: murid-murid duduk dengan buku di tangan sementara sang guru sibuk mencari angle terbaik untuk video TikTok-nya.
Kepala Dinas Pendidikan NTT bahkan harus mengeluarkan larangan tegas untuk "ngonten" di jam mengajar, di tengah data memilukan: kemampuan baca-tulis siswa NTT masih di bawah rata-rata nasional, dengan banyak anak yang belum mampu membaca dan menulis lancar hingga tingkat SMP dan SMA.
Larangan tanpa pemahaman hanya melahirkan kepatuhan semu. Yang kita butuhkan adalah transformasi - dari akar, dari hati, dari kesadaran kolektif bahwa pendidikan karakter tidak bisa diajarkan, hanya bisa ditularkan.
Sekolah Ramah Anak: Dari Kebijakan ke Realitas
Menurut Peraturan Menteri PPPA Nomor 8 Tahun 2014, Sekolah Ramah Anak (SRA) adalah "satuan pendidikan yang aman, bersih dan sehat, mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya."
UNICEF dalam Child Friendly Schools Manual (2009) menekankan tiga pilar: Inklusif, Efektif, dan Partisipatif.
"A child-friendly school is one where the rights of the child are respected, where teachers use child-centered teaching methods, and where the school environment is safe, healthy and protective." ---Â UNICEF
Kutipan ini menegaskan bahwa sekolah ramah anak adalah tempat di mana hak-hak anak dihormati secara nyata, guru menggunakan metode pembelajaran yang berpusat pada kebutuhan anak, dan lingkungan sekolah benar-benar aman serta melindungi---bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional dan psikologis.