Interpretasi Awal
Karya sastra pada dasarnya merupakan hasil dari proses kreatif yang mencerminkan kenyataan kehidupan masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh Wellek dan Warren, sastra adalah sebuah karya seni yang dihasilkan dari kegiatan atau proses kreatif. Dalam konteks ini, objek yang dimuat dalam karya sastra adalah realitas atau kenyataan dalam kehidupan, sehingga peristiwa sosial yang terjadi di masyarakat memiliki keterkaitan yang erat dengan isi yang dimuat dalam karya sastra.
Pendekatan mimetik dalam kritik sastra memandang karya sastra sebagai tiruan alamiah atau pembayangan kehidupan nyata. Hal ini menunjukkan bahwa alur cerita yang disajikan dalam karya sastra dapat dijumpai dalam kehidupan nyata. Cerpen "Rumah Yang Terang" karya Ahmad Tohari merupakan representasi nyata dari fenomena sosial yang sering terjadi di masyarakat pedesaan Indonesia, khususnya terkait tekanan sosial yang dialami individu yang memilih untuk berbeda dari mayoritas.
Aspek kritik sastra meliputi analisis, interpretasi, dan evaluasi terhadap karya tersebut. Dalam cerpen ini, Ahmad Tohari berhasil menggambarkan kompleksitas hubungan sosial di masyarakat desa yang sering kali memberikan tekanan berlebihan kepada individu yang tidak mengikuti arus modernisasi atau memiliki pandangan berbeda dengan masyarakat umum.
Â
Analisis-Deskripsi
Cerpen "Rumah Yang Terang" menyajikan gambaran nyata tentang tekanan sosial yang dialami oleh keluarga Haji Bakir karena keputusannya untuk tidak memasang listrik di rumahnya. Tekanan ini datang dari berbagai aspek kehidupan sosial yang mencerminkan realitas masyarakat Indonesia.
Masyarakat dalam cerpen ini menilai status ekonomi seseorang berdasarkan kemampuannya mengikuti tren modernisasi. Hal ini terlihat jelas dari stigma yang diberikan kepada tokoh dalam cerpen tersebut, yaikni Haji Bakir sebagai orang yang bakhil. Kutipan "Haji Bakir itu seharusnya berganti nama menjadi Haji Bakhil. Dia kaya tetapi tak mau pasang listrik" menunjukkan bagaimana masyarakat mengaitkan kemampuan ekonomi dengan kemauan mengadopsi teknologi baru. Penilaian ini mencerminkan mentalitas masyarakat yang menganggap bahwa orang kaya wajib memamerkan kekayaannya melalui penggunaan fasilitas modern.
Ketika tuduhan kebakhilan tidak cukup kuat, masyarakat kemudian menggunakan isu religius dan mistis untuk menekan tokoh Haji Bakir. Tuduhan "Tentu saja Haji Bakir tak mau pasang listrik karena tuyul tidak suka cahaya terang" menunjukkan bagaimana masyarakat memanfaatkan kepercayaan mistis untuk memojokkan individu yang berbeda. Ini mencerminkan fenomena dalam masyarakat Indonesia yang sering kali menggunakan isu spiritual atau kepercayaan tradisional sebagai alat untuk mengontrol perilaku anggota masyarakat.
Fenomena tekanan sosial mencapai puncaknya ketika masyarakat menggunakan instrumen hukum untuk memaksakan kehendak mereka. Kutipan "mereka menuduh ayahku telah melanggar asas kepentingan umum" dan ancaman untuk mengadukan kepada lurah menunjukkan bagaimana norma hukum dapat disalahgunakan untuk menekan individu yang tidak sependapat. Hal ini mencerminkan realitas di masyarakat di mana otoritas formal sering kali digunakan untuk menyelesaikan konflik sosial yang sebenarnya bersifat pribadi.
Tekanan sosial tidak hanya berdampak pada Haji Bakir, tetapi juga merambat ke anggota keluarganya. Sang anak yang menjadi narator mengalami dilema internal yang tercermin dalam kalimat "akulah yang lebih banyak menjadi bulan-bulanan celoteh yang kian meluas di kampungku". Konflik internal ini menunjukkan bagaimana tekanan sosial dapat menciptakan perpecahan dalam keluarga dan memaksa anggota keluarga untuk memilih antara solidaritas keluarga dan penerimaan sosial.