Mohon tunggu...
Risma Melati Kartika Sari
Risma Melati Kartika Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Risma Melati Kartika Sari atau yang akrab disapa Kartika merupakan penulis muda yang lahir di Purworejo pada tanggal 25 Juli 2005. Saat ini, penulis sedang menempuh pendidikan sarjana di Universitas Negeri Yogyakarta, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Selama masa perkuliahan, Kartika menunjukkan dedikasi tinggi dalam berbagai aktivitas akademik dan non-akademik. Penulis aktif berkarya di platform digital sebagai penulis daring.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Fenomena Tekanan Sosial Masyarakat Desa terhadap Individu dalam Cerpen "Rumah Yang Terang" Karya Ahmad Tohari

16 Juni 2025   22:38 Diperbarui: 16 Juni 2025   22:37 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Cerpen ini juga menggambarkan dengan tepat bagaimana gosip berfungsi sebagai alat kontrol sosial di masyarakat. Kutipan "Kampungku yang punya kegemaran berceloteh seperti mendapat jalan buat berkata seenaknya" menunjukkan bagaimana budaya lisan menjadi instrumen pengawasan dan pengendalian perilaku. Hal ini sangat nyata dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya di daerah pedesaan di mana hubungan sosial masih sangat kental.

Kekuatan cerpen ini terletak pada pengungkapan alasan sebenarnya di balik sikap Haji Bakir. Ketika terungkap bahwa "Ayahku memang tidak suka listrik. Beliau punya keyakinan hidup dengan listrik akan mengundang kemborosan cahaya. Apabila cahaya dihabiskan semasa hidupnya maka ayahku khawatir tidak ada lagi cahaya bagi beliau di dalam kubur", pembaca dan masyarakat dalam cerita tersebut menyadari betapa dangkalnya penilaian mereka. Ironi ini menjadi kritik tajam terhadap kecenderungan masyarakat untuk menghakimi tanpa berusaha memahami motivasi sebenarnya.

 

Evaluasi-Penilaian

Dari perspektif pendekatan mimetik, cerpen "Rumah Yang Terang" berhasil menjadi cermin yang akurat bagi realitas sosial masyarakat Indonesia. Ahmad Tohari dengan piawai menggambarkan fenomena tekanan sosial yang sering dialami individu yang memilih untuk berbeda dari mayoritas. Karya ini tidak sekadar menceritakan konflik personal, tetapi merepresentasikan pola-pola sosial yang dapat ditemui dalam kehidupan nyata.

Kekuatan utama cerpen ini terletak pada kemampuannya menampilkan kompleksitas hubungan sosial tanpa memberikan penilaian yang hitam-putih. Tokoh Haji Bakir digambarkan bukan sebagai korban yang sempurna, melainkan sebagai individu dengan keyakinan yang berbeda namun tetap memiliki kedalaman spiritual. Sementara itu, masyarakat juga tidak digambarkan sebagai antagonis murni, melainkan sebagai kelompok yang terjebak dalam pola pikir konvensional.

Aspek psikologis dalam cerpen ini juga sangat kuat, terutama dalam penggambaran konflik internal sang anak yang tersandung antara loyalitas kepada ayah dan keinginan untuk diterima masyarakat. Hal ini mencerminkan realitas banyak individu dalam masyarakat yang mengalami dilema serupa ketika nilai-nilai keluarga bertentangan dengan ekspektasi sosial.

Cerpen ini juga berhasil mengkritik fenomena modernisasi yang tidak selalu membawa kebaikan. Simbol listrik dalam cerita bukan hanya representasi kemajuan teknologi, tetapi juga metafora bagi tekanan sosial untuk mengikuti arus modernisasi tanpa mempertimbangkan nilai-nilai individual atau spiritual yang mungkin bertentangan dengannya.

Secara keseluruhan, "Rumah Yang Terang" adalah karya yang berhasil memenuhi fungsi sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Melalui narasi yang sederhana namun memiliki makna mendalam, Ahmad Tohari berhasil mengangkat isu-isu sosial yang relevan dan universal, menjadikan cerpen ini tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagai refleksi kritis terhadap dinamika sosial yang terjadi di masyarakat Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun