Filsafat, sebagai upaya manusia memahami hakikat realitas, kerap terbentur pada tantangan bahasa ibu (Bahasa Indonesi). Bahasa Indonesia, yang berakar dari Bahasa Melayu, dipilih karena kelenturannya menyerap kosakata asing. Namun, meskipun seperti itu, tetap saja kita akan menemukan kekurangan dalam bahasa yang kita pakai sehari-hari ini. Keterbatasan ini menyulitkan pemahaman kita dalam mengkonsumsi konsep-konsep filsafat yang cenderung abstrak. Sebab, sejauh ini term-term filosofis sering kali tidak memiliki padanan langsung dalam bahasa Indonesia. Akibatnya, kita dalam mempelajari filsafat tidak hanya membutuhkan penguasaan gagasan, tetapi juga penelusuran makna di balik kata-kata asing yang tak sepenuhnya terwakili dalam struktur bahasa sehari-hari.
Persoalan bahasa ini berkelindan dengan cara manusia memahami "ada" dan "tidak ada". Sejak lahir, kita sering menjadikan indra sebagai gerbang utama untuk berinteraksi dengan realitas fisik. Misalnya Pendengaran: kita menggunakannya untuk menangkap suara. Penglihatan: digunakan untuk melihat warna dan bentuk. Dan indra-indra lainnya. Karena kebiasaan inilah yang kemudian membentuk keyakinan kita bahwa, "ada" adalah apa yang terindra. Ketika sesuatu tak tertangkap indra, kita cenderung menyimpulkannya sebagai "tidak ada", alih-alih mempertimbangkan bahwa sesuatu itu mungkin ada di luar jangkauan persepsi.
Dari paradigma yang cendrung bersifat empirik tersebut, di sini, filsafat mengajak kita melampaui kebiasaan indrawi. Jika yang sebelumnya kita sering mengatakan bahwa objek adalah segala yang terlihat, terdengar, atau tersentuh, maka selanjutnya kita dipaksa untuk mengimani bahwa objek yang tak terhindari itu juga dapat diketahui.
"Ada" tidak bergantung pada indra atau pikiran, karena ada-lah yang membuat indra dan pikiran. Artinya, ada mendahului keduanya. Selain itu, segala sesuatu yang dipersepsi oleh indra dan akal, semua didahului oleh ada-nya. Sebab, tanpa "Ada", mustahil ada sesuatu yang terindra atau terpikirkan. Sayangnya, manusia kerap menyempitkan "Ada" hanya pada yang terindra---misalnya, menganggap sesuatu "ada" hanya jika sudah disentuh atau dilihat. Padahal, filsafat membedakan dua bentuk "Ada": wujud dzihni (eksistensi konseptual dalam pikiran) dan wujud khoriji (eksistensi objektif di luar pikiran). Keduanya adalah manifestasi "Ada", tetapi bukan "Ada" itu sendiri. "Ada" sejati melampaui keduanya, karena ia adalah prinsip transenden yang melingkupi segala sesuatu, termasuk pikiran dan benda.
Di sinilah paradoks muncul: "Ada" tidak bisa sepenuhnya dipikirkan, karena pikiran hanya bekerja dalam forma-forma. Jika "Ada" bisa diindra atau dipikirkan, ia akan tereduksi menjadi benda atau konsep. Padahal, "Ada" justru menjadi dasar bagi keduanya. Untuk memahami hal ini, filsafat membagi "Ada" dalam tiga dimensi:
1.Ada yang Telah Terjadi, yaitu realitas yang sudah termanifestasi dalam ruang-waktu.
2.Ada sebagai Pikiran, yakni representasi konseptual dari realitas yang diproses oleh akal.
3.Ada sebagai Kata, ekspresi linguistik untuk mengomunikasikan pemahaman tentang "Ada".
Ketiganya membentuk siklus: realitas melahirkan konsep, konsep diungkapkan melalui kata, dan kata kembali merujuk pada realitas. Namun, "Ada" sebagai fondasi tetap tak terjangkau sepenuhnya. Ia bagaikan langit yang melingkupi bumi---terasa dekat, tetapi tak pernah bisa dipegang.
Dari sini, filsafat mengajak kita merefleksikan batas-batas pikiran dan indra. Bahasa ibu, meski menjadi alat komunikasi sehari-hari, memiliki keterbatasan untuk menjangkau hakikat "Ada" yang abstrak. Sementara itu, indra---meski vital---hanya menangkap realitas fisik. Pemahaman sejati tentang "Ada" menuntut kesadaran bahwa diri (subjek) bukanlah pusat pengalaman, melainkan bagian dari jejaring eksistensi yang lebih luas. Di balik segala yang terlihat, terdengar, atau terpikir, "Ada" tetap menjadi misteri yang merangkul segala entitas, termasuk "aku" sebagai subjek yang mengetahui.