"Sakit juga ya terkena hujan," ucapnya sembari membuka jas biru yang melindungi tubuhnya dari hujan meski tak sepenuhnya bisa terhindar.
"Sudah kukatakan, harusnya tak usah datang," jawabku dengan nada penuh penekanan.
Dia mengusap kepalaku perlahan. Kurasakan tangannya basah dan kedinginan. Aku mengusap wajahnya yang terlihat basah. Rambutnya sudah tak karuan. Pria manisku terlihat mulai kedinginan dengan pakaian yang di beberapa bagian sudah basah terkena hujan.
"Kita di rumah saja ya. Hujannya masih tak karuan."
"Jangan. Aku sudah memesan tempat. Kita hanya perlu kesana kemudian kita akan duduk nyaman dengan makanan kesukaan kita. Biarkan aku melakukan hal indah seperti pria kebanyakan."
Akhirnya aku sudah siap dengan jas hujan warna biru yang sama percis dengan miliknya. Siap naik ke kendaraan roda dua berwarna hitam yang senantiasa mengantarku selama 4 tahun kami bersama.Â
"Kita jalan ya."Â
Hari itu hujan tak hanya membuat kami kedinginan di tengah jalan. Namun hujan membuat jalanan menjadi lebih padat dan semakin sentimental. Orang-orang menekan klakson dengan bergantian. Berharap ada ruang untuk bisa meneruskan perjalanan.
Sepatu cantikku mulai kebasahan. Aku memang memilih tetap mengenakannya tanpa menggantinya dengan alas kaki karet yang tak akan basah oleh hujan. Aku tak peduli. Begitu juga dia. Dia masih setia dengan sepatu yang sudah terkena hujan sedari tadi ditengah waktu ia menjemputku. Kami sama-sama tak peduli. Tujuan kami hanya ingin sampai di tempat itu tanpa berpikir bagaimana penampilan kami.
Aku memeluknya erat dari belakang. Wajahku mulai tertampar ari hujan yang tak kunjung mereda ketika malam semakin petang. Sudah kupastikan wajahku kembali ke tampilan awal. Tampilan sebelum aku berusaha menjadi lebih berwarna dibanding kencan-kencan kami yang biasanya.
Kami membutuhkan 30 menit waktu tambahan untuk akhirnya sampai di tempat tujuan.Â