Mohon tunggu...
Riska Yunita
Riska Yunita Mohon Tunggu... Bankir - Karyawan Swasta

Be your own kind of beautiful

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selamat Hari Kasih Sayang, Pangeran

15 Februari 2020   14:04 Diperbarui: 15 Februari 2020   14:07 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://www.idntimes.com

Kotaku hujan. Senjaku tertutup awan. Gelap.

Hujan mulai turun perlahan di saat manusia sedang beramai-ramai turun ke jalan. Hiruk pikuknya semakin nyaring terdengar. Bersahu-sahutan dengan suara petir yang menyambar.

Mataku terisi penuh oleh pemandangan kota yang sedang diguyur hujan. Ditepian ada mereka yang bergegas melindungi diri dari hujan. Di tengah jalan terlihat barisan kendaraan mulai berjajar menandakan padatnya kota di kala hujan. 

Padat. Bising. Melankolis.

Aku terjebak di antara kendaraan-kendaraan lain dengan tujuannya masing-masing. Dalam diamku, kudapati berbagai rasa tiba-tiba berkumpul menjadi satu. Tidak seperti situasi hujan yang biasanya. Sebuah situasi lain yang membuatnya serupa. Seperti melihat reka adegan dari peristiwa dahulu kala.

Tepat di sebelah kananku, sepasang pemuda dan pemudi terdiam di tengah hujan yang masih membasahi jalan. Mereka kehujanan. Pakaian keduanya mulai memperlihatkan lingkaran-lingkaran tetesan air hujan. Terlihat kain berwarna merah muda mencuat di balik jaket sie pemudi yang meringkuk dingin di belakang. 

Mereka kebasahan. Dalam hati, aku berharap hujan akan berhenti membasahi jalan. Aku berharap sang pemuda tetap tampan dan sang pemudi tetap menawan  hingga sampai di tempat tujuan. Aku berharap hujan tak akan menghancurkan angan yang sudah diharapkan.

Karena hujan pernah menghancurkan suatu angan terbaik dalam hidupku. Karena hujan membawaku pada ketakutan yang tak terlupakan. Karena hujan menjadi musim dimana aku kehilangan raga yang kujadikan sandaran.

5 tahun yang lalu, di tanggal dan bulan yang sama di tahun itu, dia menjanjikan makan malam yang tak biasa. Iya, tak biasa untuk pasangan tak romantis seperti kita. Pasangan yang tak pernah punya rencana kencan ala pasangan drama dalam tiap malam minggunya.

Tetapi hari itu, dia memang ingin melakukan hal yang diluar biasanya.

"Tunggu aku, pukul tujuh kita akan siap berangkat dari rumahmu,"  ucapnya saat itu.

Masih teringat jelas dalam ingatanku, aku mempersiapkan diriku sebagaimana biasanya malam minggu kami. Tak banyak yang kulakukan, berdandan pun hanya ala kadar karena aku bahkan hanya tahu hal-hal dasar kala usia itu. Yang kuingat adalah aku memilih gaun sederhana berwarna merah muda yang tersimpan baik di lemariku. 

Belum selesai aku melakukan persiapan, kekhawatiranku sungguh menjadi kenyataan. Hujan. Langit senjaku tak kelihatan. Aku khawatir rencana kami tak terealisasikan.

Aku meraih ponselku dan mengiriminya sebuab pesan.

"Hujan. Kamu tetap akan datang?," tanyaku melalui pesan yang tak lama langsung mendapat balasan.

"Jadi, tak apa. Aku akan tetap jalan. Tunggu aku ya," balasnya.

Aku berdandan dengan hati yang murung mengikuti suasana gelap karena mendung dan hujan. Hujan cukup sering membawaku pada situasi dimana hati terasa tak terlalu riang untuk bertualang. Kala itu, hujan sudah menjadi hal yang sangat ingin kuhindari di kala ingin bepergian.

10 menit menuju pukul tujuh, suara kendaraan dari arah atas terdengar mendekat ke pekarangan. Aku yakin itu dia. 

Aku berlari menuju pintu ruang tamu, melintasi teras kecilku hingga sampai di pagar coklat di pekarangan rumahku. 

Dia menunjukkan senyumnya dengan wajah yang terlihat basah. Aku menariknya segara masuk ke area pekarangan. Hujan semakin kencang menderu jalanan. Genangan sudah mulai terlihat di tengah jalanan kecil di perumahan.

"Sakit juga ya terkena hujan," ucapnya sembari membuka jas biru yang melindungi tubuhnya dari hujan meski tak sepenuhnya bisa terhindar.

"Sudah kukatakan, harusnya tak usah datang," jawabku dengan nada penuh penekanan.

Dia mengusap kepalaku perlahan. Kurasakan tangannya basah dan kedinginan. Aku mengusap wajahnya yang terlihat basah. Rambutnya sudah tak karuan. Pria manisku terlihat mulai kedinginan dengan pakaian yang di beberapa bagian sudah basah terkena hujan.

"Kita di rumah saja ya. Hujannya masih tak karuan."

"Jangan. Aku sudah memesan tempat. Kita hanya perlu kesana kemudian kita akan duduk nyaman dengan makanan kesukaan kita. Biarkan aku melakukan hal indah seperti pria kebanyakan."

Akhirnya aku sudah siap dengan jas hujan warna biru yang sama percis dengan miliknya. Siap naik ke kendaraan roda dua berwarna hitam yang senantiasa mengantarku selama 4 tahun kami bersama. 

"Kita jalan ya." 

Hari itu hujan tak hanya membuat kami kedinginan di tengah jalan. Namun hujan membuat jalanan menjadi lebih padat dan semakin sentimental. Orang-orang menekan klakson dengan bergantian. Berharap ada ruang untuk bisa meneruskan perjalanan.

Sepatu cantikku mulai kebasahan. Aku memang memilih tetap mengenakannya tanpa menggantinya dengan alas kaki karet yang tak akan basah oleh hujan. Aku tak peduli. Begitu juga dia. Dia masih setia dengan sepatu yang sudah terkena hujan sedari tadi ditengah waktu ia menjemputku. Kami sama-sama tak peduli. Tujuan kami hanya ingin sampai di tempat itu tanpa berpikir bagaimana penampilan kami.

Aku memeluknya erat dari belakang. Wajahku mulai tertampar ari hujan yang tak kunjung mereda ketika malam semakin petang. Sudah kupastikan wajahku kembali ke tampilan awal. Tampilan sebelum aku berusaha menjadi lebih berwarna dibanding kencan-kencan kami yang biasanya.

Kami membutuhkan 30 menit waktu tambahan untuk akhirnya sampai di tempat tujuan. 

Berantakan. Kebasahan.

Dengan kondisi demikian kami masuk ke dalam restoran. Kulihat hanya kendaraan kami yang beroda dua yang terparkir di area parkir restoran. Dan benar saja, sesuai pemandangan di area parkir, di tengah restoran telah duduk berpuluh pasangan dengan pakaian cantik dan tampan dan wajah kering dengan riasan.

Sang pelayan memandang heran ke arah kami. Sepasang pria dan wanita dengan penampilan khas orang yang menerobos hujan di jalanan.

Sepatu kekasihku berdecit setiap ia melangkahkan kaki di tegel putih dengan desain elegan. Lenganku masih memperlihatkan buliran air hujan di beberapa bagian.

Setelah beberapa detik menjadi pusat perhatian, akhirnya kami duduk di sudut ruangan yang sudah kekasihku pesan.

Kami tak ada komentar. Duduk dan langsung memilih menu untuk segera di pesan. Waktu makan malam sudah cukup jauh terlewatkan.

Di tengah waktu kami menunggu pesanan datang, kami bicara banyak hal sebagaimana biasanya. Tak ada yang berbeda. Hanya tempatnya yang kali ini lebih istimewa. 

"Maaf karena harus membuatmu menunggu 4 tahun untuk akhirnya bisa datang ke tempat seperti ini. Dan maaf jika aku hanya bisa memesan tempat namun belum mampu memperlakukanmu sebagai putri," katanya di tengah waktu ketika kami berbincang.

"Aku tahu setiap wanita pasti menginginkan hal seperti ini. Tak terkecuali aku. Tetapi aku cukup sadar akan apa yang kita miliki saat ini. Jangan dipaksakan. Aku tak ingin kamu melakukan hal diluar batasan. Aku menyukai hal sederhana yang memang sesuai dengan diri dan lingkungan kita. Dan untuk semua yang kamu lakukan kali ini, aku sungguh berterima kasih. Terima kasih karena telah berkorban banyak hanya untuk membuatku bisa merasakan hal yang sama sebagaimana orang-orang yang ada di sini."

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika dia sudah berhasil mengantarku pulang dengan selamat. Dan  malam itu masih hujan namun dengan intensitas yang lebih ringan. Hanya ada rintik-rintik yang datang dengan jarang.

"Tidak pakai jas hujan?," tanyaku ketika ingin mengantarnya mengambil kendaraan yang terparkir di depan pagar pekarangan.

"Tidak. Sudah tidak terlalu hujan. Sudah mau pulang juga. Tak apa biar basah sekalian," begitu candanya.

"Jangan merengek jika besok kamu terkena demam. Aku tak mau ambil urusan," jawabku setengah kesal.

"Baiklah sayang. Tenang saja aku akan baik-baik saja," rayunya.

Akhirnya dia pulang hanya dengan jaket parasut hitam kesayangannya. Jas hujan birunya tergeletak pasrah di bagian depan di tempat kakinya berpijak.

Punggungnya semakin samar kulihat dari tempatku berdiri di depan pagar. Lima menit kemudian, dia sudah hilang dari pandangan.

Aku beranjak masuk dan berjalan menuju kamar. Membersihkan dan merapikan diri untuk siap bersembunyi di balik selimut dengan segala kehangatan. 

Kupandangi ponselku sembari menunggu sebuah pesan. Sampai setelah belasan menit menunggu tanpa ada pesan yang datang, aku akhirnya menekan angka yang mengantarku pada panggilan cepat pada seseorang.

Tersambung namun tak ada jawaban.

Kuulangi lagi sampai pada  percobaan ke enam akhirnya ada suara yang terdengar dari seberang. Namun bukan suara yang sedang kuharapkan.

"Tante?" 

Itulah kata pertama yang kuucap.

"Nay ...nayaaa" suara diseberang terdengar tercekat.

"Tante kenapa? Rega sudah sampai di rumah kan tante?"

"Naya sama siapa di rumah?"

"Ibu sama ayah ada semua sama Naya, tante."

"Naya ke sini ya nak. Tapi jangan sendiri. Minta ayah untuk antar ya. Disini hujan deras. Hati-hati saja ya, sayang."

"Ke rumah tante? Ada apa tante?"

"Ke rumah sakit sayang. Ke sini saja, nanti tante jelaskan di sini. Tante bisa bicara pada Ayahmu sayang?"

Saat itu dengan seketika semua pikiran negatif muncul dalam pikiranku. Kudapati ponselku sudah kuserahkan pada Ayah yang sedang duduk di sofa dengan kegiatan malamnya. Aku berdiri meninggalkan Ayah dan bergegas ke kamar,berganti pakaian, mengambil tas selempang yang isinya belum sempat terbongkar.

20 menit kemudian aku sudah melihat pemandangan yang belum genap satu jam masih terekam baik di ingatan. Bagian belakang dari jaket parasut hitam yang sangat aku kenal tergeletak di kursi kayu di seberang ranjang. Masih ada bekas bulir hujan yang belum terserap. 

Dan disanalah dia. Terbaring kaku di atas ranjang di hadapan mataku dan orang-orang yang begitu kami sayang.

Air mataku langsung mengalir deras seperti hujan di luar sana. Berbaur dengan tetesan bekas hujan yang menghantamku saat perjalanan bersama Ayah menuju tempat tujuan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Kurasakan banyak tangan menjaga badanku agar tetap tegap berdiri menghadap ranjang. Aku mendekap wajahku dengan telapak tangan yang sudah keriput karena dinginnya air hujan. Rasanya terlalu sakit untuk bisa ku tahan.

"Rega kenapa? Kenapa dia tidur di sana? Kenapa rega tidak melihat Naya?" tangis diamku mulai berubah menjadi drama.

"Ga...buka matamu Ga. Aku di sini. Sayang, aku di sini. Kamu kenapa sayang?"

Pandanganku mulai mengarah liar ke sekeliling ranjang. Bertanya dengan barbar perihal apa yang sedang terjadi di depan mataku saat itu. Tak ada yang mampu menjelaskan. Semua masih terpukul dengan pemandangan menakutkan di atas ranjang. 

Dan esok paginya, aku terbangun dengan sakit yang sulit untuk diungkapkan. Kepalaku terasa berat. Seperti habis menghantam benda keras namun tak berdarah. Hanya terasa memar di seluruh bagian. Sakit dan berat.

Mataku sulit untuk dibuka. Terlalu sulit melihat cahaya yang menembus langsung ke bola mata.

"Naya, ayo kita siap-siap."

Sayup-sayup terdengar suara Ibu mengerahkanku untuk segera beranjak dari tempat tidur. Tempat tidur yang berada dalam ruangan bercat putih dengan pemandangan yang sudah tak asing lagi bagiku. Ruangan dengan aroma yang membuatku semakin rindu.

Tanah liat itu sudah menumpuk menjadi sebuah gundukan seukuran manusia yang berbaring. Bunga-bunga sudah berjatuhan dengan indah di atas tanah coklat dengan papan nama yang membuatku sadar  akan pemandangan apa yang sesungguhnya terjadi di depan mataku.

Dia yang kemarin duduk di hadapanku dengan sajian makan malam mewah itu sudah tertidur pulas di balik gundukan tanah liat di depanku.

Secepat itu aku harus kehilangan pria sederhana yang menutup hari terakhirnya dengan aksi bagaikan pangeran di luar sana.

Kecelakaan itu membuatku kehilangan Rega. Seseorang yang 4 tahun lamanya sudah menjaga dan menemaniku dengan setia. Seseorang yang bersamanya kita melewati masa demi masa. Seseorang yang bersamanya aku bermimpi akan hidup dengan lebih baik lagi nantinya.

Kami berasal dari keluarga dengan zona yang sama. Cara hidup yang apa adanya, yang tak terlena dengan dunia dengan segala kemewahannya. Pasangan dengan ambisi dan kerja keras yang serupa untuk hidup yang lebih baik nantinya.

Dan saat hari ini, di masa kini, di dalam kendaraan roda empat yang kukendarai sendiri dan kudapati dari hasil kerja kerasku sendiri, kenangan tentangnya kembali datang lagi.

Melihat pasangan di sebalahku yang kebasahan akibat hujan di hari di mana kebanyakan pasangan sedang merayakan hari kasih sayang, aku teringat akan semua hal manis dan pahit yang pernah kami lalui bersama.

Ketika setelah peristiwa itu hujan membuatku merasa takut namun menjadi hal yang paling kunantikan. Hujan yang mengingatkanku pada pangeranku yang selalu basah ketika menjemputku untuk pergi berkencan. Hujan yang membawa kenangan akan perjuangan di tengah orang segala kemewahan yang sudah tergenggam di tangan mereka. Hujan yang akhirnya menjadi hal terakhir yang kuingat tentang situasi dimana aku harus kehilangan sang pangeran.

"Ga, jika kamu masih ada, kamu pasti sudah menjadi raja dan aku sudah menjadi putri. Kita tidak akan takut kebasahan lagi. Kita tak perlu malu dipandang aneh lagi," bisikku pada diriku sendiri.

"Sebagaimana aku yang berjuang keras hingga bisa seperti ini, aku yakin kau akan berjuang lebih giat dibanding aku yang mudah menyerah ini. Terima kasih karena pernah membagi mimpi yang akhirnya menjadi motivasi hingga aku menjadi lebih berani. Karena semua yang kudapati dan miliki saat ini adalah hasil dari pikiran baik yang selalu kau ajarkan padaku dikala kita sedang berusaha merancamg berbagai mimpi di kala itu."

"Selamat hari kasih sayang, pangeran-ku yang sudah diatas awan. Di sini hujan. Bahagialah di sana. Aku baik- baik saja. Tidak kebasahan. Tidak kedinginan," ucapku perlahan sembari melihat awan yang gelap dan masih setia membawa hujan hingga senja ke petang.

Bali, 14 Februari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun