Langit malam di kota itu begitu terang. Lampu-lampu menembus kegelapan seperti ribuan bintang buatan manusia, berkelip di antara gedung-gedung tinggi yang menjulang angkuh ke langit. Namun bagiku, semua itu tidak berarti apa-apa. Cahaya itu terlalu ramai, terlalu berisik---dan terlalu palsu untuk bisa menenangkan hatiku yang sunyi.
Aku berjalan di trotoar yang basah sisa hujan sore tadi. Di seberang jalan, layar besar menampilkan iklan terbaru tentang gedung apartemen mewah yang akan segera dibangun. "Hidup nyaman, bahagia, dan modern," katanya. Aku menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum tipis---senyum yang lebih menyerupai ejekan pada dunia yang terlalu percaya pada kebahagiaan buatan.
Aku tidak menginginkan itu. Tidak pernah. Tidak lagi.
Mereka bilang dunia ini penuh keindahan. Tapi mataku sudah terlalu lelah untuk mencari keindahan yang katanya bisa membuat hidup ini berarti. Aku sudah mencoba melihat segalanya dari sisi berbeda, tapi hasilnya selalu sama: datar, kosong, dan dingin.
Aku pernah mencoba membuat diriku bahagia seperti yang disarankan banyak orang.
"Belanja saja, beli hal-hal yang kamu suka. Itu akan membuatmu senang," kata salah satu teman kantorku.
Aku menuruti saran itu. Sepulang kerja aku pergi ke pusat perbelanjaan, membeli pakaian baru, sepatu yang belum tentu kupakai, parfum mahal yang baunya cepat membuatku pusing.
Di depan kaca besar toko, aku melihat bayangan diriku sendiri---gadis berwajah datar dengan kantung belanja di tangan. Orang-orang di sekitarku tersenyum puas dengan barang yang mereka beli, seolah kebahagiaan bisa dibungkus dalam plastik dan dibayar dengan kartu kredit.
Aku mencoba ikut tersenyum, tapi rasanya hampa.
Sesampainya di rumah, aku membuka satu per satu belanjaanku. Semua terlihat indah... sampai aku menyadari tidak ada satu pun yang membuatku merasa hidup. Aku hanya merasa semakin kosong, seolah ruang di dadaku membesar, menelan seluruh cahaya yang tersisa di dalam diri.