Malah dia yang membujukku. Aku menghela nafas. "Enam bulan aja. Satu tahun terlalu lama,"putusku.
"Oke!"katanya ceria.
Malah aku yang luluh. Kepalaku jadi semakin pening saja. Tapi apa boleh buat. Demi perempuan ini, aku bersedia untuk berkompromi. Sejak awal aku sudah berjanji pada diriku sendiri kalau aku membahagiakannya dengan cara apa pun dan aku tidak berniat mengingkari janjiku sendiri.
###
Sudah sebulan kami menikah dan segelas kopi selalu menemani sarapan kami yang sederhana. Sarapan lezat buatannya dan kopi hitam racikannya yang wangi selalu membuatku semangat setiap pagi. Sebagai pekerja freelance, dia mengurus semua pekerjaannya dari rumah. Sehingga urusan rumah selalu beres sampai membuatku yang cerewet soal kerapian tidak pernah protes. Ningrum benar-benar mengerti apa mauku, jadi aku memutuskan untuk tidak berkomentar lagi tentang keputusannya menunda punya anak.
"Bulan ini penghasilanku dua kali lipat gaji kamu, loh,"katanya, membuka obrolan pagi kami.
"Lima juta rupiah?"tanyaku, tidak percaya.
"Lima juta tiga ratus ribu rupiah. Klienku bulan ini ada 9 orang dan ada seorang klienku yang kasih bonus 50 ribu. Belum lagi ilustrasi yang aku jual di microstock yang belum aku cairin ada 100 dollar. Senang banget pokoknya. Kamu mau aku beliin apa?"
Aku terdiam. Sejujurnya, aku tidak suka memakai uangnya. Tapi untuk menghargainya kadang aku minta dibelikan 2 bungkus rokok Surya favoritku. Meski Ningrum yang baik hati sering kali membelikan minimal satu selop rokok, bukannya cuma dua bungkus. Perlakuannya itu benar-benar membuatku merasa dimanja. Dari dulu dia memang tipe perempuan yang tidak hanya menerima.
"Jangan malu-malu gitu,"candanya.
Aku mengulas senyum di bibir. "Rokok aja, merek yang biasa,"kataku.