Sementara itu jalur alternatif seperti Jalur Aik Berik dan Timbanuh dikenal memiliki elevasi yang cukup menantang serta jalur setapak yang lebih liar. Area ini melewati lereng-lereng bekas longsoran pascagempa 2018, yang menurut Ang et al., (2024) belum sepenuhnya stabil secara geoteknikal. Masih ditemukan beberapa titik retakan dan lereng rapuh yang berpotensi runtuh terutama saat diguyur hujan deras. Sedangkan jalur Tete Batu, yang lebih jarang digunakan, melewati hutan lebat dan vegetasi yang rapat. Meski lebih sejuk, jalur ini memiliki visibilitas yang rendah dan potensi tersesat lebih tinggi. Karakteristik batuan di kawasan ini juga menunjukkan bekas pelapukan yang membuat pijakan kurang stabil.
Untuk meningkatkan keselamatan pendakian, berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR). Beberapa langkah yang telah diterapkan antara lain adalah pemasangan rambu peringatan, petunjuk jalur, pelatihan rutin bagi para pemandu pendakian, serta pengembangan sistem pemesanan online untuk mengendalikan jumlah pendaki. Selain itu, BTNGR juga rutin melakukan penutupan jalur berisiko tinggi, terutama saat musim hujan, seperti yang dilakukan pada jalur dari Pelawangan Sembalun menuju Danau Segara Anak pada Juli 2025 (Dilansir Kompas.com  pada 16 Juli 2025). Kebijakan ini merupakan bentuk respon konkret terhadap meningkatnya risiko kecelakaan, serta bagian dari komitmen menuju wisata pendakian yang lebih aman dan berkelanjutan.
Namun di sisi lain, kegiatan pendakian di gunung Rinjani juga membawa berbagai tantangan yang memerlukan kesiapan secara fisik, mental, maupun teknis. Namun, para pendaki memandang Gunung Rinjani sebagai destinasi yang menaikkan semangat petualangan. Padahal aktivitas pendakian gunung membawa resiko seperti kondisi cuaca yang ekstrem, kehilangan jalur, hipotermia, dan terbatasnya fasilitas keselamatan serta medis di area pegunungan. Akan tetapi, persepsi terhadap resiko keselamatan pendakian tidak hanya dibentuk oleh pengetahuan objektif, tetapi juga interpretasi subjektif yang dipengaruhi berbagai faktor. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya persepsi terhadap resiko keselamatan pendakian menurut Rahmi dan Djunaidi (2021), dapat dibedakan menjadi dua faktor, yakni eksternal  dan internal.Â
Faktor eksternal terbentuk dari adanya pengalaman, intensitas pendakian, informasi dari media, jumlah anggota pada pendakian, kehadiran pemandu dalam aktivitas pendakian, dan paparan faktor lingkungan. Semakin banyak pengalaman pribadi dalam pendakian, maka pendaki mampu untuk mengidentifikasi tanda resiko keselamatan di jalur yang memiliki tingkat kesulitan tinggi. Pendaki cenderung lebih berhati-hati dan membuat rencana pendakian sematang mungkin seperti diet saat mendaki, jadwal sehari-hari dalam mendaki, dan jalur yang akan dipilih. Sebaliknya, pendaki pemula yang mengandalkan informasi dari media sosial akan memiliki persepsi rendah dan kurang realistis. Hal ini, dikarenakan informasi media sosial hanya menunjukkan euforia keberhasilan mencapai puncak tanpa menampilkan resiko, tantangan, dan kegagalan yang terjadi.Â
Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi terlahirnya persepsi resiko keselamatan pendakian adalah jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin sangat berkaitan erat dengan persepsi tersebut, karena perempuan akan cenderung memilih jalur pendakian yang lebih santai. Sedangkan laki-laki memilih jalur pendakian yang lebih ekstem sehingga terbiasa terlibat dalam kegiatan yang beresiko. Hal ini, didukung dengan konsep maskulinitas dan feminitas yang membuat laki-laki memiliki resiko yang lebih rendah. Perbedaan ini berkaitan dengan karakteristik psikologis dan sosial yang melekat di setiap individu. Pendaki perempuan seringkali menunjukkan tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki cenderung overconfidence dalam menilai kemampuannya. Penelitian Susanto et al., (2018), mengatakan bahwa laki--laki cenderung akan berhenti untuk menghindari resiko jika cidera yang dialami sudah parah, sedangkan perempuan cenderung akan menghindari situasi berisiko yang dapat menyebabkan cidera.Â
Dengan demikian, mendaki Gunung Rinjani tidak dapat dilakukan secara sembarangan, melainkan memerlukan kesiapan yang matang untuk menghadapi medan berat, cuaca ekstrem, dan nilai-nilai budaya di sekitarnya. Akhir-akhir ini sering terjadi kasus kecelakaan di lapangan akibat kurangnya pemahaman terhadap kondisi jalur pendakian dan perubahan cuaca ekstrem. Fenomena ini menegaskan akan pentingnya persiapan yang menyeluruh sebelum pendakian. Berikut tips 'RINJANI' yang dapat membantumu meminimalkan risiko kecelakaan dan mendaki lebih aman serta bertanggung jawab dalam mendaki Gunung Rinjani, yaitu:
1. Riset Jalur dan Cuaca
Pahami jalur pendakian, karakteristik geografi dan morfologi medan yang dipilih, pos peristirahatan, dan prediksi cuaca. Pengetahuan ini akan memudahkan perencanaan dalam segi logistik dan strategi pendakian.
2. Ikuti Jalur Resmi dan jalani bersama pendaki berpengalaman
Pemandu berpengalaman mengenal setiap jalur, potensi bahaya, dan budaya lokal, sehingga dapat memberikan panduan, perlindungan, serta wawasan ekstra.
3. Niatkan Pendakian dengan Persiapan Fisik dan Mental