Siang 11 September, saya menyalakan radio dan memutar Kis 95.1 FM. Dari balik jingle yang familiar, muncul pengumuman spesial Hari Radio Nasional. Studio terdengar riuh tapi hangat, seperti pintu lama yang kembali dibuka. Tema siarannya langsung menempel: "Hari Radio Nasional Bukan Sekadar Seremoni, Ini Pengingat Bahwa Radio Selalu Bersuara." Di momen ini, radio terasa seperti teman lama yang datang membawa kabar baik.
Satu per satu suara yang familiar masuk bergantian selama dua hari itu (11--12 September). Di antaranya: Danang, Imam Darto, Arie Daginkz, Indy Barends, Becky Tumewu, Ivy Batuta, Udjo (Project Pop), Tika Panggabean, Kemal, TJ, Asri Welas, Sogi Indra Dhuaja, Nycta Gina, Rizky Kinos, dan banyak lagi. Mendengar mereka seperti bertemu kawan lama di simpang kota: warna suara yang khas, jeda yang pas, tawa yang tak dibuat-buat. Format relay 22 penyiar kawakan ini membuat ritme siaran hidup sepanjang hari.
Yang menggetarkan bukan sekadar daftar nama, melainkan cara mereka merajut kedekatan. Obrolan kecil tentang belakang layar, trivia radio, hingga selingan jenaka mengalir tanpa gimmick. Kesederhanaan justru terasa mahal; radio memamerkan keahliannya, menghadirkan keintiman melalui suara.
Di telinga, saya kembali ke masa ketika suara adalah segalanya. Dulu, kita hanya bisa menebak ekspresi penyiar dari intonasi; sekarang, beberapa segmen bisa diikuti pula lewat platform sosial. Bukan hanya didengar, kadang juga disaksikan. Parade 22 penyiar kawakan ini jadi jembatan antara dulu dan kini: tradisi yang bertahan, medium yang beradaptasi.
Karena itu temanya terasa sangat tepat: "Hari Radio Nasional Bukan Sekadar Seremoni, Ini Pengingat Bahwa Radio Selalu Bersuara." Radio bertahan bukan pada kerasnya volume, melainkan pada kualitas hadirnya sapaan yang personal, jeda yang manusiawi, dan kepercayaan yang tumbuh dari kebiasaan menyimak. Di tengah banjir konten, ia tetap menjadi penanda ritme harian: teman macet di mobil, latar di dapur saat menyiapkan sarapan, hingga pengawal lembur ketika layar terasa melelahkan. Parade 22 penyiar kawakan itu menegaskan hal yang sama: suara yang terlatih, empati yang tulus, dan kurasi cerita yang cermat masih relevan di mana pun ia mengalun: FM, streaming, atau siaran silang di media sosial. Dari studio Kis siang itu, saya menangkap pesan sederhana: suara tetap bekerja; menautkan jarak, membangunkan memori, dan mengingatkan kita pada alasan mengapa kita jatuh cinta pada radio sejak awal.
Dan memori itu langsung membawa saya ke masa sandiwara radio, kirim-kirim salam, dan momen-momen kecil yang membuat radio pernah dan masih jadi hiburan paling dekat dengan kita.
Radio sebagai Media Nostalgia dan Hiburan
Sulit menyangkal, radio adalah album kenangan yang bisa diputar ulang kapan saja. Ia menjadi ritme; menyapa di awal hari, mengisi jeda perjalanan, dan menemani ujung malam ketika layar diistirahatkan . Dari frekuensi ke frekuensi, suara penyiar mengikat hal-hal kecil yang intim dalam sapaan nama, tawa singkat, hingga jeda yang membuat kita merasa disapa sebagai manusia, bukan sekadar pengguna.
Di masa kejayaannya, sandiwara radio menjadi semesta bersama. Tutur Tinular, Saur Sepuh, hingga Misteri Gunung Merapi membuktikan bahwa tanpa visual pun imajinasi pendengar bisa membangun dunia yang utuh. Kita menunggu jam tayang seperti menanti janji: musik pembuka jadi kode, narasi pembuka jadi undangan. Tokoh-tokoh seperti Arya Kamandanu, Brama Kumbara, Mantili, dan Mak Lampir seperti hidup di kepala, adegan berkelahi terdengar hanya dari efek suara, dan cliffhanger membuat ruang keluarga hening. Semuanya bertumpu pada kekuatan cerita dan teater suara.
Tradisi kirim-kirim salam dan request lagu juga melengkapi kehangatan itu. Menyebut nama sahabat, menyisipkan pesan, lalu menanti momen ketika penyiar memanggil rasanya seperti merayakan ulang tahun kecil setiap hari. Di balik proses sederhana itu tersimpan keterhubungan: ada komunitas tak kasatmata yang terjalin dari studio ke warung kopi, dari kampus ke asrama putri, dari kota ke desa. Kita mungkin sendirian saat mendengarkan, tetapi jarang merasa sendiri.
Interaksi hangat dengan penyiar adalah resep rahasia radio. Mereka bukan hanya pembaca naskah melainkan kurator mood, pemandu selera musik, sekaligus moderator obrolan yang membuat pendengar betah berlama-lama. Di tangan penyiar yang piawai, cuaca buruk bisa jadi bahan canda, jeda iklan terasa lebih ringan, dan berita pahit disampaikan dengan empati. Ada seni meracik tempo: kapan memberi ruang pada lagu, kapan menyela dengan trivia, dan kapan diam sesaat agar makna mendarat.
Karena itu, radio pernah dan masih jadi teman setia sehari-hari. Ia bukan sekadar kanal hiburan, melainkan pengalaman bersama yang ditenun dari cerita, musik, dan sapaan personal. Kebiasaan-kebiasaan kecil itulah yang hari ini beresonansi kembali ketika kita melihat penyiar favorit tampil lintas platform: rasa akrabnya tetap sama, hanya panggungnya yang bertambah.
Radio dalam Sejarah dan Kemerdekaan
Sejarah radio di Indonesia bertaut erat dengan kelahiran republik. Tanggal 11 September diperingati sebagai Hari Radio Nasional karena pada hari itu, di tahun 1945, sejumlah stasiun radio sepakat melebur dan melahirkan Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai lembaga siaran milik bangsa. Narasi yang sering dirujuk menyebut delapan stasiun dari berbagai kota bergabung untuk menyatukan gelombang suara republik muda. Sebuah keputusan strategis di hari-hari awal kemerdekaan.
Beberapa pekan sebelumnya, kabar Proklamasi 17 Agustus 1945 disebarkan melalui jaringan radio, mulai dari stasiun-stasiun yang sebelumnya berada di bawah pendudukan hingga siaran-siaran yang "dibajak" untuk kepentingan republik. Nama M. Jusuf Ronodipuro kerap disebut dalam kisah penyiaran berita proklamasi dari studio radio pendudukan (Hoso Kyoku) dan kelak ikut merintis Voice of Free Indonesia (cikal bakal layanan internasional RRI) untuk menembus pendengar luar negeri. Intinya sama: radio menjadi pengeras suara pertama republik, memastikan kabar kemerdekaan melampaui pagar halaman Pegangsaan Timur.
Dalam keadaan serba terbatas, situasi logistik tipis dan komunikasi darurat, radio tampil sebagai media cepat, murah, dan luas jangkauannya. Ia menyatukan imajinasi kebangsaan: menyiarkan pengumuman pemerintah, pidato, peringatan keamanan, hingga siaran pendidikan yang menjahit kota-desa dalam satu ruang dengar. Sejak awal, RRI bukan sekadar saksi. Ia aktor komunikasi yang ikut mengkonsolidasikan republik muda dan menumbuhkan rasa kita pada penduduk yang tersebar di kepulauan.
Dari titik pijak itu, tradisi suara yang menyatukan terus bertahan: radio memelihara kedekatan, menyebarkan pengetahuan, dan memperkuat semangat kebangsaan. Jejak awal 1945 bukan hanya catatan sejarah, melainkan fondasi etos: siaran untuk publik, independen, dan berpihak pada persatuan.
Transformasi Radio di Era Digital
Dulu kita hanya mendengar penyiar. Kini kita juga bisa menyaksikan mereka siaran lewat live di TikTok, Instagram, atau YouTube. Studio yang dulu imajinatif kini hadir visualnya: gestur tangan, tatapan, hingga tawa yang pecah di sela jeda iklan. Namun pusat gravitasinya tetap sama: audio-first, visual-optional. Visual memperkaya pengalaman, tetapi kekuatan utama radio tetap pada cerita, kurasi musik, dan kepribadian penyiar.
Distribusinya pun kini lintas platform. Selain FM, ada streaming lewat aplikasi, smart speaker, sampai integrasi di mobil (Android Auto/CarPlay). Segmen favorit bisa dipotong ulang menjadi podcast atau klip pendek. Obrolan yang berkesan hidup lebih lama di linimasa, bukan berhenti saat lampu ON AIR padam. Ritme siaran harian bertemu pola on-demand: pendengar memilih kapan dan bagaimana menikmati program.
Interaksi juga berevolusi. Dulu SMS dan telepon, sekarang WhatsApp voice note, DM, komentar live, hingga polling di stories. Semuanya menjadikan pendengar bukan sekadar angka rating, melainkan komunitas yang berpartisipasi. Penyiar merespons real-time, menampilkan komentar di layar, bahkan mengajak pendengar ikut masuk ke studio via call-in video. Kedekatan yang dulu dibangun lewat suara kini berlapis. Ada wajah, teks, dan emoji, tetapi rasa akrabnya tetap dijaga.
Dari sisi produksi, radio belajar berbicara dalam bahasa algoritma: judul segmen yang tajam, hook 3--5 detik pertama, dan ritme obrolan yang cocok dipotong untuk feed pendek. Di saat yang sama, format klasik: dialog intim, permainan peran, kuis, tetap dipertahankan karena itulah DNA radio. Model bisnis ikut menyesuaikan: kolaborasi brand lintas kanal, traffic ke event offline, hingga monetisasi konten ulang.
Hadirnya 22 penyiar kawakan di Hari Radio Nasional memperlihatkan jembatan antargenerasi: kepiawaian bertutur yang matang bertemu panggung digital yang cair. Yang berubah adalah saluran, bukan esensi. Dari sini, wajar bila kita melangkah ke pertanyaan berikutnya: Apa makna transformasi ini bagi kita, baik sebagai pendengar maupun sebagai bangsa yang pernah mengabarkan kemerdekaan lewat gelombang radio?
Gelombang yang Merawat Ingatan
Pada akhirnya, yang membuat radio bertahan bukan hanya teknologinya, melainkan kehadiran manusia di balik mikrofon. Ada sapaan yang personal, ada jeda yang memberi ruang bernapas, dan ada kepercayaan yang dibangun dari konsistensi bertahun-tahun. Radio mengingatkan bahwa komunikasi terbaik kadang sederhana: suara yang jujur, cerita yang relevan, dan pendengar yang dihargai.
Kita juga berhutang pada sejarah: dari proklamasi yang disiarkan ke seluruh penjuru, sampai layanan publik yang menjahit kota-desa dalam satu ruang dengar. Etos itu masih terasa. Bahwa radio bukan sekadar kanal hiburan, melainkan ruang warga yang menyatukan imajinasi kebangsaan. Ketika banyak hal bergerak cepat, radio menjaga ritme: tidak terburu-buru, tidak berisik tanpa makna.
Di era digital, bentuknya mungkin berlapis: FM, streaming, siniar (podcast), live TikTok, tetapi esensinya tetap audio-first. Visual boleh menambah kedekatan, algoritma boleh mengatur sebaran namun yang dijaga tetap sama: kurasi cerita, integritas informasi, dan empati penyiar kepada pendengarnya. Transformasi ini bukan penghapusan tradisi, melainkan cara tradisi tetap relevan.
Momen spesial di Kis 95.1 FM parade 22 penyiar kawakan menjadi pengingat konkret. Di sana, kepiawaian bertutur yang matang bertemu panggung digital yang cair. Kita mendengar sekaligus melihat proses siaran, dan akhirnya menyadari: Oh, ternyata beginilah wajah kerja suara yang selama ini menemani. Ia tetap hangat, tertata, dan sangat manusiawi.
Selamat Hari Radio Nasional. Semoga gelombang suaramu terus menemukan telinga yang rindu. Di udara dan di jaringan, di ruang keluarga dan di kabin mobil, hari ini dan di tahun-tahun mendatang. Radio selalu bersuara. Tugas kita adalah terus mendengarkan, merawat, dan menyiarkannya kembali dalam hidup sehari-hari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI