Mohon tunggu...
Nursaripati Risca
Nursaripati Risca Mohon Tunggu... Buruh negara saat jam kerja, penulis keresahan saat jeda, ibu dan istri di sela segala.

Menulis di sela pura-pura sibuk. Dengan logika, literasi, dan hasil amatan ringan yang malu-malu dibahas di forum resmi. Lebih sering baca komentar netizen daripada jurnal ilmiah, namun tetap yakin bahwa ide cemerlang lahir dari kopi dingin dan deadline.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Radio: Gelombang yang Tak Redup, Frekuensi yang Menyambung Ingatan

13 September 2025   02:52 Diperbarui: 13 September 2025   02:52 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari sisi produksi, radio belajar berbicara dalam bahasa algoritma: judul segmen yang tajam, hook 3--5 detik pertama, dan ritme obrolan yang cocok dipotong untuk feed pendek. Di saat yang sama, format klasik: dialog intim, permainan peran, kuis, tetap dipertahankan karena itulah DNA radio. Model bisnis ikut menyesuaikan: kolaborasi brand lintas kanal, traffic ke event offline, hingga monetisasi konten ulang.

Hadirnya 22 penyiar kawakan di Hari Radio Nasional memperlihatkan jembatan antargenerasi: kepiawaian bertutur yang matang bertemu panggung digital yang cair. Yang berubah adalah saluran, bukan esensi. Dari sini, wajar bila kita melangkah ke pertanyaan berikutnya: Apa makna transformasi ini bagi kita, baik sebagai pendengar maupun sebagai bangsa yang pernah mengabarkan kemerdekaan lewat gelombang radio?

Gelombang yang Merawat Ingatan

Pada akhirnya, yang membuat radio bertahan bukan hanya teknologinya, melainkan kehadiran manusia di balik mikrofon. Ada sapaan yang personal, ada jeda yang memberi ruang bernapas, dan ada kepercayaan yang dibangun dari konsistensi bertahun-tahun. Radio mengingatkan bahwa komunikasi terbaik kadang sederhana: suara yang jujur, cerita yang relevan, dan pendengar yang dihargai.

Kita juga berhutang pada sejarah: dari proklamasi yang disiarkan ke seluruh penjuru, sampai layanan publik yang menjahit kota-desa dalam satu ruang dengar. Etos itu masih terasa. Bahwa radio bukan sekadar kanal hiburan, melainkan ruang warga yang menyatukan imajinasi kebangsaan. Ketika banyak hal bergerak cepat, radio menjaga ritme: tidak terburu-buru, tidak berisik tanpa makna.

Di era digital, bentuknya mungkin berlapis: FM, streaming, siniar (podcast), live TikTok, tetapi esensinya tetap audio-first. Visual boleh menambah kedekatan, algoritma boleh mengatur sebaran namun yang dijaga tetap sama: kurasi cerita, integritas informasi, dan empati penyiar kepada pendengarnya. Transformasi ini bukan penghapusan tradisi, melainkan cara tradisi tetap relevan.

Momen spesial di Kis 95.1 FM parade 22 penyiar kawakan menjadi pengingat konkret. Di sana, kepiawaian bertutur yang matang bertemu panggung digital yang cair. Kita mendengar sekaligus melihat proses siaran, dan akhirnya menyadari: Oh, ternyata beginilah wajah kerja suara yang selama ini menemani. Ia tetap hangat, tertata, dan sangat manusiawi.

Selamat Hari Radio Nasional. Semoga gelombang suaramu terus menemukan telinga yang rindu. Di udara dan di jaringan, di ruang keluarga dan di kabin mobil, hari ini dan di tahun-tahun mendatang. Radio selalu bersuara. Tugas kita adalah terus mendengarkan, merawat, dan menyiarkannya kembali dalam hidup sehari-hari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun