Tawa Prabu Subarkah pecah dan bergema di aula utama Wisma Hamala (baca: Siasat di Wisma Hamala ). Seluruh anak buahnya ikut tertawa, walaupun tidak mengerti ada apa. Ruangan itu menjadi riuh rendah oleh suara tertawa.
"Tenang semua..! Dengarkan saya!"
Suara Prabu Subarkah yang lantang membuat semua yang ada di ruangan terdiam. Seketika, hening melingkupi aula utama Wisma Hamala. Jangankan bersuara, untuk sekedar mengalihkan pandangan saja, tidak ada yang berani. Semua menahan nafas dan  memusatkan panca indra ke Prabu Subarkah.
Prabu Subarkah menengadah. Dipandanginya lampu kaca di langit-langit aula utama. Lampu kaca itu adalah hadiah dari seorang putera mahkota dari Kerajaan Gurun, sebuah kerajaan asing nun jauh di barat laut. Prabu Subarkah pernah tinggal cukup lama di sana, ia mengungsi ke kerajaan asing itu, beberapa saat setelah Prabu Suhatama diturunkan paksa dari tahta Kerajaan Nusa Selaksa. Ada kabar burung, Prabu Subarkah juga diangkat sebagai penduduk kehormatan di sana.
"Aku ingin, kalian semua bekerjasama dengan Rahib Sidap, juga Kelompok Panji Putih-Hitam beserta pendukung-pendukungnya!"
Prabu Subarkah mengalihkan pandangan. Ia menatap satu persatu anak buahnya. Kali ini semua tertunduk, tak ada yang berani beradu pandang dengannya.
"Kami laksanakan, Yang Mulia!"
Hanya Fatah Zila yang kelihatan sedikit gelisah. Dengan sekuat tenaga ia menyembunyikan kegelisahan itu. Mata Prabu Subarkah yang terlatih segera menangkap kegelisahan penasehatnya itu.
"Ada apa Fatah Zila..?"
"Tidak..., Yang Mulia..."
"Bohong..! Cepat katakan, atau aku cabut kedudukanmu sebagai penasehat utama! Akan kuberikan tugas pembuatan syair dan tembang tolak bala kepada bangsawan lainnya, jika kau tidak buka suara!"