UMKM adalah singkatan dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Di balik akronim itu, tersimpan denyut nadi ekonomi Indonesia yang nyata.
Mulai dari warung kelontong di sudut kampung, bengkel motor rumahan, toko kue rumahan, hingga bisnis kopi kekinian dengan satu barista, semuanya masuk dalam kategori UMKM.
Tak hanya menyumbang produk domestik bruto secara signifikan, UMKM juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Namun ironisnya, isu kesejahteraan pekerja UMKM sering kali luput dari sorotan.
Saya pernah bertanya pada salah satu pekerja UMKM yang bergerak di bidang produksi makanan ringan. Jam kerja dari pagi hingga sore, tidak jarang lembur jika permintaan membludak. Tapi ketika bicara soal gaji, jawabannya kerap menggantung di langit.
Banyak pelaku UMKM berdalih bahwa keterbatasan modal dan belum stabilnya omzet membuat mereka sulit menggaji pegawai sesuai standar.
Memang, tidak mudah mengelola bisnis kecil dengan tekanan biaya operasional, utang bahan baku, dan belum adanya pemasukan tetap. Namun perlu digarisbawahi, pekerja yang datang ke tempat usaha setiap hari, memberi tenaga dan waktunya, bukanlah relawan.
Di sinilah pentingnya pelaku UMKM mulai menyadari bahwa upah bukan sekadar "uang jajan" yang diberikan semampunya. Upah adalah bentuk penghargaan atas waktu, keahlian, dan komitmen seseorang.
Realitas di lapangan memang tidak hitam putih. Ada pelaku UMKM yang benar-benar berjuang sendirian, menanggung rugi demi bisa membayar gaji pegawai meski seadanya.
Tapi ada juga yang mulai menikmati keuntungan, namun masih enggan menyesuaikan gaji pegawainya dengan standar yang pantas. Dalam hal ini, saya percaya, gaji seharusnya dihitung bukan hanya dengan hati, tapi juga logika.
Logika pertama adalah menghitung beban kerja. Jika usaha kecil belum mampu menggaji sesuai UMR, setidaknya bisa dimulai dengan transparansi ajak pegawai berdiskusi tentang pendapatan, pembagian keuntungan, bahkan peluang pengembangan usaha bersama.