Jujur saja, saya tidak pandai menulis cerpen. Tapi jika disuruh membuat artikel populer, ringkasan, atau opini, tanganku bisa mengetik tanpa ragu.
Tapi cerpen? Ah, rasanya seperti memaksa ikan untuk belajar terbang. Namun, Ramadan kali ini berbeda. Entah mengapa, ada dorongan kuat untuk menuliskan sesuatu. Hehe.
Mungkin karena Ramadan selalu punya cara sendiri untuk memaksa kita merenung, lalu mengisahkannya.
Maka, inilah aku. Duduk di depan laptop, menatap kursor yang berkedip-kedip seperti sedang mengolok-olok ketidakmampuanku. Baiklah, aku mulai dari mana?
Baiklah dengan ini saya akan membuat cerpen mengarang saya yang pertama di Kompasiana. Semua yang berada disini hanya cerita karangan saja. Jangan anggap ini adalah saya. Hehe.
Cerpen Kisah Ramadan yang Dibuat-buat
Sebut saja namaku Faris. Aku seorang penulis artikel di sebuah media daring. Biasanya aku menulis tentang tren bisnis, gaya hidup, atau fenomena sosial yang sedang ramai diperbincangkan. Tapi, sejak awal Ramadan, ada yang mengusik pikiranku.
Semua berawal dari obrolan di grup keluarga WhatsApp.
"Kak Faris, Ramadan tahun ini nggak ada cerpen dari Kakak?"
Aku mengernyit. Sejak kapan aku menulis cerpen? Rupanya, itu pesan dari adikku, Nisa. Dia suka membaca cerpen di majalah sekolahnya. Aku balas singkat.
"Kakak kan bukan cerpenis."