Mohon tunggu...
Nova Rio Redondo
Nova Rio Redondo Mohon Tunggu... #Nomine Best Student Kompasiana Award 2022

Mahasiswa Teknologi Informasi UIN Walisongo Semarang. Personal Blog: novariout.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Sastrawan, Bukan Cerpenis, tapi Ramadan Memaksaku Berkisah

22 Maret 2025   21:15 Diperbarui: 22 Maret 2025   21:15 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang Sedang Memaksa Menulis Cerpen | reactormag.com (Thom Milkovic [via Unsplash])

Jujur saja, saya tidak pandai menulis cerpen. Tapi jika disuruh membuat artikel populer, ringkasan, atau opini, tanganku bisa mengetik tanpa ragu.

Tapi cerpen? Ah, rasanya seperti memaksa ikan untuk belajar terbang. Namun, Ramadan kali ini berbeda. Entah mengapa, ada dorongan kuat untuk menuliskan sesuatu. Hehe.

Mungkin karena Ramadan selalu punya cara sendiri untuk memaksa kita merenung, lalu mengisahkannya.

Maka, inilah aku. Duduk di depan laptop, menatap kursor yang berkedip-kedip seperti sedang mengolok-olok ketidakmampuanku. Baiklah, aku mulai dari mana?

Baiklah dengan ini saya akan membuat cerpen mengarang saya yang pertama di Kompasiana. Semua yang berada disini hanya cerita karangan saja. Jangan anggap ini adalah saya. Hehe.

Cerpen Kisah Ramadan yang Dibuat-buat

Sebut saja namaku Faris. Aku seorang penulis artikel di sebuah media daring. Biasanya aku menulis tentang tren bisnis, gaya hidup, atau fenomena sosial yang sedang ramai diperbincangkan. Tapi, sejak awal Ramadan, ada yang mengusik pikiranku.

Semua berawal dari obrolan di grup keluarga WhatsApp.

"Kak Faris, Ramadan tahun ini nggak ada cerpen dari Kakak?"

Aku mengernyit. Sejak kapan aku menulis cerpen? Rupanya, itu pesan dari adikku, Nisa. Dia suka membaca cerpen di majalah sekolahnya. Aku balas singkat.

"Kakak kan bukan cerpenis."

Tak lama, ibuku menimpali.

"Tapi kamu kan penulis. Masa nulis cerita aja nggak bisa?"

Nah, ini jebakan betmen. Menulis cerita itu bukan sekadar merangkai kata. Ada alur, konflik, emosi dan aku, sejauh ini, hanya tahu bagaimana membuat orang tertarik membaca sesuatu berdasarkan fakta. Tapi, kalau ibu sudah bicara, artinya tidak ada opsi selain menerima tantangan ini.

* * * * * * *

Aku mulai mengingat Ramadan masa kecilku. Suasana rumah yang penuh kehangatan, wangi makanan berbuka, dan suara azan Maghrib yang terasa lebih syahdu dibanding bulan-bulan lain. Aku ingat dulu sering berdebat dengan Nisa soal siapa yang harus mengambil takjil ke meja.

"Giliran Kakak!" serunya.

"Kemarin juga Kakak!" aku membela diri.

"Kemarin siapa duluan yang ambil kolak?"

"Ya aku..."

"Nah, berarti sekarang giliran aku yang duduk santai."

Saat itu aku ingin protes, tapi ibu sudah menatap tajam. Akhirnya aku mengalah, sambil berjanji dalam hati: suatu hari nanti, aku akan membuat sistem shift pengambilan takjil yang adil dan berbasis data.

Tapi itu dulu. Sekarang, Ramadan terasa berbeda. Aku tinggal sendiri di kota, bekerja dari pagi hingga malam, dan sering berbuka sekadarnya dengan nasi bungkus atau mie instan. Kadang aku merasa ada yang hilang, tapi tak tahu apa.

Hingga suatu malam, aku menemukan kembali jawabannya.

* * * * * * * * *

Malam itu aku pulang lebih awal dari biasanya. Perut lapar, tapi rasa malas mengalahkan niat untuk memasak. Aku memutuskan berbuka dengan teh hangat dan roti. Begitu duduk di meja kerja, aku teringat tugas 'mulia' dari ibu dan Nisa: menulis cerpen Ramadan.

Aku pun membuka Google dan mulai mencari, "Bagaimana cara menulis cerpen?"

Salah satu artikel menyarankan: "Mulailah dengan konflik."

Oke, aku bisa mulai dengan seorang pemuda yang kehilangan makna Ramadan. Lalu, dia bertemu seorang sosok misterius yang mengubah hidupnya.

Tapi siapa sosok itu?

Aku termenung. Tiba-tiba, aku mendengar suara ketukan di pintu.

Aku berjalan ke pintu dan membukanya. Di depan sana berdiri seorang pria tua dengan peci hitam dan wajah teduh. Dia tersenyum, lalu berkata,

"Anak muda, kamu sudah berbuka?"

Aku mengangguk.

"Alhamdulillah. Tapi, kalau boleh tahu, kamu lebih kenyang oleh makanan atau oleh makna?"

Aku terdiam. Itu pertanyaan yang tak biasa.

"Maksud Bapak?"

"Ramadan bukan hanya soal berbuka dan sahur, Nak. Tapi juga soal bagaimana kita mengisi hati yang kosong." Ia tersenyum, lalu menepuk bahuku. "Kamu terlihat seperti orang yang sedang mencari sesuatu. Mungkin Ramadan ini bisa membantumu menemukannya."

Aku ingin bertanya lebih lanjut, tapi tiba-tiba...

Aku terbangun.

Ternyata aku ketiduran di depan laptop. Tehku sudah dingin, rotiku belum tersentuh. Aku menatap layar. Entah bagaimana, jari-jariku mulai mengetik dengan lancar.

Keesokan harinya, aku mengirim cerpen yang kutulis ke grup keluarga.

"Kak Faris akhirnya nulis cerpen!" Nisa mengirim emoji tepuk tangan.

"Bisa juga ternyata, kan?" Ibu menambahkan.

Aku tersenyum sendiri. Ramadan kali ini benar-benar memaksaku berkisah. Dan ternyata, aku menikmatinya.

TAMAT Hehe

Penutup

Kurang lebih begitu ceritanya, tidak apa-apa jika terkesan biasa saja, ini adalah pembelajaran baru bagi saya. Saya lebih suka membaca cerpen dari pada membuatnya.

Saya membuat cerpen ini dengan pikiran yang lumayan menguras. Tetap semangat dan semoga puasanya lancar. See you. Amigos.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun