Aku mengangguk.
"Alhamdulillah. Tapi, kalau boleh tahu, kamu lebih kenyang oleh makanan atau oleh makna?"
Aku terdiam. Itu pertanyaan yang tak biasa.
"Maksud Bapak?"
"Ramadan bukan hanya soal berbuka dan sahur, Nak. Tapi juga soal bagaimana kita mengisi hati yang kosong." Ia tersenyum, lalu menepuk bahuku. "Kamu terlihat seperti orang yang sedang mencari sesuatu. Mungkin Ramadan ini bisa membantumu menemukannya."
Aku ingin bertanya lebih lanjut, tapi tiba-tiba...
Aku terbangun.
Ternyata aku ketiduran di depan laptop. Tehku sudah dingin, rotiku belum tersentuh. Aku menatap layar. Entah bagaimana, jari-jariku mulai mengetik dengan lancar.
Keesokan harinya, aku mengirim cerpen yang kutulis ke grup keluarga.
"Kak Faris akhirnya nulis cerpen!" Nisa mengirim emoji tepuk tangan.
"Bisa juga ternyata, kan?" Ibu menambahkan.