Hal ini lah yang membuat pengemudi merasa pendapatan mereka tidak sebanding dengan usaha yang mereka keluarkan.
Pembagian ini dianggap memberatkan, apalagi karena pengemudi juga harus menanggung biaya operasional kendaraan, seperti bahan bakar dan perawatan.
Selain itu, kebijakan tarif yang sering berubah tanpa melibatkan pengemudi dalam pengambilan keputusan menjadi sumber ketidakpuasan lainnya.
Pengemudi merasa tarif yang ditentukan aplikasi tidak mencerminkan biaya yang mereka keluarkan, terutama dengan fluktuasi harga bahan bakar dan biaya hidup yang terus meningkat.
Kebijakan bonus dan insentif yang tidak jelas juga memperburuk masalah, karena pengemudi merasa terjebak dalam sistem yang tidak transparan.
Sistem algoritma yang diterapkan oleh aplikator juga menjadi sumber ketegangan. Pengemudi merasa dirugikan oleh sistem yang lebih mengutamakan keuntungan aplikator, dengan tidak memberikan kesempatan bagi pengemudi untuk memilih rute atau tujuan yang lebih menguntungkan.
Ditambah lagi, pengemudi yang tidak dapat memenuhi kuota perjalanan yang ditentukan oleh aplikator sering kali tidak mendapatkan insentif atau bonus, yang membuat mereka merasa dihargai kurang.
Penerimaan Negara dari Industri Ride-Hailing
Perlu dicatat, industri ride-hailing memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara melalui pajak.
Pada tahun 2024, sektor ini menyumbang sekitar Rp 29,97 triliun dari total penerimaan pajak, dengan sebagian besar berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi perdagangan digital dan pajak penghasilan pengemudi.
Pemerintah juga mengenakan pajak atas transaksi digital yang dilakukan oleh perusahaan aplikasi, memperkuat kontribusi sektor ini terhadap ekonomi negara.