Mohon tunggu...
Mario Manalu
Mario Manalu Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis JM Group

A proud daddy

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agung Rai, Kekuatan Tak Terbatas Tekad Manusia

17 November 2019   15:20 Diperbarui: 17 November 2019   15:26 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Agung Rai, pendiri dan pemilik ARMA (Dok. Putu Suasta)

Di sebuah warung kopi (kafe) di kompleks museum dan resort bernama ARMA di Ubud, orang bisa salah paham dengan mudah tentang sosok seorang laki-laki bernama lengkap Anak Agung Gde Rai. Dia sering mampir ke warung tersebut, menikmati segelas kopi sambil berbincang hangat dengan para pengunjung dan mudah menyebar senyum ramah.

Bisa saja pengunjung mengira dia adalah seorang supir atau pemandu wisata yang baru saja mengantar turis ke museum dan resort tersebut. Penulis pernah mengalami salah paham ini.

Sehari-hari dia mengenakan udeng (tutup kepala tradisional Bali), dengan kemeja sederhana bersama sarung membalut dari pinggang hingga ke pergelangan kaki beralas sandal. Mayoritas pemandu wisata di Bali berpenampilan seperti ini maka orang yang baru kenal dengan Agung Rai (panggilan akrabnya) akan sangat terkejut ketika diberi tahu bahwa dia adalah pemilik museum dan galeri seni serta resort yang bekelas internasional tersebut, bukan supir atau pemandu wisata.  

Ketik saja "ARMA Museum" atau "ARMA Resort" di google search maka dalam hitungan detik akan muncul ulasan, kesaksian dan berbagai perbincangan dari seluruh dunia. Barrack Obama dan Ratu Elisabeth pernah berkunjung ke sana, dan juga SBY ketika menjabat sebagai Presiden RI. Tahun lalu Pangeran dan Putri Georgia dibuat takjub oleh suguhan seni dan nuansa natural ARMA.

Namun, bukan kemasyuran museum dan resort tersebut yang hendak dibahas di sini, melainkan kisah seorang laki-laki dari keluarga miskin yang kini menjadi pemilik salah satu galeri dan museum seni paling prestisius di Indonesia hanya berbekal kekuatan tekad penuh kerja keras. Sebuah buku yang ditulis oleh Putu Suasta (2017) menggambarkan dengan sangat bagus bagaimana ARMA (Agung Rai Museum of Art) dibangun dengan penuh kesabaran dan perjuangan panjang. Kisah hidup Agung Rai membuktikan dengan tepat kebenaran kata-kata novelis Brazil, Paulo Coelho: "jika kamu teguh mengejar mimpi, seluruh alam raya akan bersekutu membantumu meraihnya".

Sebagaimana dituturkan oleh Putu Suasta, Agung Rai sejak masa anak-anak telah melakoni berbagai kerja serabutan, mengerjakan apapun yang bisa mendatangkan uang untuk membantu keluarganya keluar dari lilitan kemiskinan; mencari kayu bakar untuk dijual pernah dia lakoni; demikian juga menjadi pembantu di rumah tentangga yang berprofesi jadi pelukis; menjadi penjaga bayi dan berbagai pekerjaan serabutan lain.

Titik balik hidupnya datang bersamaan dengan gelombang besar kedatangan turis manca negara ke Indonesia khususnya Bali. Dia mencoba peruntungan menjadi pemandu wisata. Untuk itu dia butuh kemampuan berbahasa Inggris. Dia meminta bantuan seorang pemandu wisata yang sering mengantar turis asing ke kampungnya.

Dia diajari beberapa kata dan kalimat dasar dalam percakapan bahasa Inggris. Dengan bekal seadanya tersebut, dia memberanikan diri mengobrol dengan turis-turis asing sambil menawarkan jasa pemandu wisata. Beberapa pelanggan kemudian dengan suka rela membantunya memperbaiki kemampuan bahasa Inggris.

Jiwa Seni

Kendati berasal dari keluarga miskin, sejak kecil Agung Rai telah akrab dengan nama-nama besar dunia di bidang seni lukis seperti Walter Spies, Antonio Blanco dan beberapa pelukis besar lainnya yang tinggal di Ubud. Sama seperti anak-anak lain di kampungnya, Agung Rai juga bercita-cita menjadi pelukis karena banyak orang yang dia kenal telah membuktikan bahwa kemampuan melukis dapat membawa kesejahteraan.

Dia mengikuti kursus melukis yang diselenggarakan secara gratis oleh para seniman Barat. Tapi dia segera menyadari tak memiliki cukup bakat untuk menjadi pelukis terkenal.

"Saya mengetahui teknik melukis, tahu tahap dan langkah-langkahnya. Tapi saya tak bisa membuat lukisan bagus seperti yang dibuat teman-temanku" kenangnya dalam buku biografi yang disusun Putu Suasta.

"Melukis seperti meditasi. Itulah hobiku waktu kecil. Saya selalu melukis, tapi kemudian saya sadari itu bukan duniaku"

Gagal menjadi pelukis membuat Agung Rai melupakan sejenak dunia seni dan menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan serabutan. Tapi gelora terhadap seni kembali bangkit dalam jiwanya ketika menyaksikan para turis asing tawar menawar dengan penjual souvenir di tengah kesibukannya menjalani profesi sebagai pemandu wisata amatir.

Pengalaman itu memberinya ide untuk menawarkan karya-karya seni terutama lukisan kepada para turis asing. Segera dia sadari di sanalah bakat terbesarnya. Dia mampu menjelaskan teknik, cerita di balik sebuah karya seni dan falsafah kultural yang diusungnya. Karena penjelasan-penjelasan itu para turis menggemari karya-karya seni yang dia tawarkan.

Dia kemudian memperluas pasarnya ke Kuta dan Sanur, membangun kontak dengan para turis yang ada di sana serta memperluas jalinan kerja sama dengan para pemilik art shop. Secara perlahan dia membangun reputasi sebagai pedagang karya seni yang bermata tajam. Banyak lukisan yang tampak biasa di mata banyak orang, kemudian menjadi bernilai tinggi dan berharga mahal ketika di tangan Agung Rai.

Ketika keadaan ekonominya telah jauh lebih baik, Agung Rai kemudian menghidupkan mimpi masa kecilnya: memiliki galeri seni sendiri. Bagi banyak  orang yang berasal dari keluarga biasa, mimpi seperti itu mungkin terasa absurd, tapi Agung Rai membuktikan bahwa tekad manusia memiliki kekuatan tak terbatas. Melebihi mimpi masa kecilnya, dia kini memiliki galeri, museum dan resort yang saling terintegrasi.

"Ketika menjadi penjaja karya seni di jalanan, saya selalu mengingatkan diri bahwa pekerjaan itu bukan semata-mata hanya untuk mencari uang, tapi juga mewujudkan mimpi masa kecilku yakni memiliki galeri", demikian dia tuturkan dalam buku semi-biografi yang disusun Jean Couteau Dan Warih Wisatsana (2014).

Satu per satu lukisan bernilai tinggi dia sisihkan sebagai koleksi pribadi (bukan untuk dijual kembali) sambil terus melanjutkan usahanya mempromosikan karya-karya para seniman Bali ke seluruh dunia. Sesekali dia berkeliling Indonesia bahkan juga ke luar negeri untuk memburu karya-karya para mestro.

Saat koleksinya sudah memadai, dia membangun galeri di sepetak tanah yang dia beli bersama istri tahun 1977. Dia kemudian melakukan perluasan dengan membangun museum dan resort untuk mewujudkan visinya: sebuah kompeks seni budaya, dibangun dengan filosofi aristektur Bali dan dilengkapi dengan area pertanian natural untuk memberi pengunjung pengalaman otentik.

Resort dia posisikan sebagai unit bisnis untuk membiayai pengelolaan museum dan galeri beserta kegiatan-kegiatan seni budaya yang diselenggarakan ARMA Foundation.

Dengan visi itulah ARMA hingga hari ini setia menjalankan fungsi kulturalnya yakni memberi pendidikan seni budaya kepada masyarakat, membuka peluang lahirnya karya-karya baru para seniman dan terus mempromosikan karya-karya anak bangsa. Agung Rai tidak saja berhasil mewujudkan mimpinya, tetapi juga mimpi banyak seniman yang berhasil menjangkau dunia berkat jasa dan perannya. Semua itu hanya bermodalkan tekad kuat, ketulusan dan kerja keras untuk mengabdi melalui seni budaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun