Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penulis Itu Egois dan Tidak Konsisten

23 Mei 2018   23:40 Diperbarui: 23 Mei 2018   23:58 1520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto : Merdeka.com)

"Penulis Itu egois dan tidak konsisten", kata istriku kesal.

"Mengapa mama ngomong begitu?", tanyaku tanda tak setuju sambil terus memainkan tuts digital di smartphoneku yang sedari tadi tiada henti.

"Buktinya tuh, papa. Dari tadi asik terus menulis, tak peduli anak-istri. Istirahat dulu kah?", lanjut istriku.

"Oh, itu. Terus hubungannya dengan tidak konsisten?, tanyaku sambil terus memainkan jari-jariku dengan cuek bebek tanpa menoleh ke arah istriku.

"Buktinya, apa yang papa tulis itu tidak semuanya sesuai dengan nurani papa, kan?, lanjutnya.

"Hanya demi memuaskan selera pembaca dan mencari viewer sebanyak mungkin, papa rela memakai bahasa-bahasa sarkasme, padahal itu bukan maksud dan tujuan papa, bukan?", cetus istriku kesal.

"Begini... begini... begini...", sahutku sambil bangkit dari tempat tidur yang sedari tadi tengkurap.

"Mama jangan bilang penulis itu egois dan tidak konsisten, nanti mereka marah. Jika papa egois dan tidak konsisten, itu urusan lain", sahutku menjelaskan.

"Papa ini bukan penulis, cuman hobi menulis dan sedang menekuni belajar menulis. Itu dua hal yang berbeda. Penulis itu profesional sedangkan papa cuma amatiran. Penulis itu dibayar sedangkan papa, sukur-sukur kalau dapat THR nanti dari Kompasiana", kataku berceramah.

"Papa itu bukan jurnalis tetapi citizen jurnalism. Yaitu aktivitas jurnalisme yang dilakukan warga non profesional. Profesi papa sesungguhnya itu kan guru, itu", kataku menirukan motivator handal Mario Teguh yang akhir-akhir ini sudah hilang dari peredaran.

"Terus untuk apa menulis kalau bukan penulis? Tak dibayar lagi, buang-buang waktu saja, kan?", istriku protes.

"Hahahaha... Tak sesederhana itu. Menulis itu hobi. Mengekspresikan ide dan gagasan yang ada dalam pikiran ke dalam bentuk tulisan. Ada kepuasan tersendiri ketika ide yang abstrak itu menjadi konkrit dalam bentuk fisik. Apalagi pembaca memberikan respon positif? Bukan main senangnya", sahutku sambil tertawa pulas.

"Hanya itu?", tanya istriku belum puas.

"Oh jelas tidak. Tulisan itu memiliki kekuatan. Memiliki roh, memiliki fisik, memiliki raga, memiliki apa lagi... semuanyalah", aku berhenti sejenak mencari bahasa yang lebih sederhana untuk menjelaskan.

"Maksudnya begini. Ketika tulisan kita itu dibaca pembaca, terus pembaca merasa termotivasi, terinspirasi, tercerahkan, terus mengubah gaya hidupnya menjadi lebih baik, kita kan sudah bermanfaat bagi orang lain?", tanyaku tanpa menginginkan jawaban.

"Begini... begini... begini...", lanjutku bingung mau ngomongin apa.

"Maksudku, coba lihat berapa banyak penulis yang mempengaruhi dunia. Misal Norman Vincent Pale dengan Positif Thinking-nya, Andrew Matthews dengan Follow Your Heart-nya, Zig Ziglar dengan See You On The Top-nya atau Salman Rushdie yang dikecam dan dikejar-kejar karena The Satanic Verses-nya?"

"Masih sangat banyak lagi. Indonesia juga punya banyak. Ada Mochtar Lubis, Iwan Simatupang, Sitor Situmorang dan yang tidak boleh dilupakan, ya Paramoedya Ananta Toer yang hampir meraih Nobel Sastra, itu", kataku sambil menunjuk ke arah Swedia.

"Pramoedya Ananta Toer menulis begini: 'Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian'. Quote yang luar biasa bukan? Coba dulu yang menuliskan itu papa, dan sekarang sampai seterusnya akan diingat orang, bermanfaat bukan?", tanyaku serius seperti seorang profesor menguji mahasiswanya.

"Atau mama tau itu, LEKRA? Lembaga Kebudayaan Rakyat yang mempunyai 100.000 anggota relawan yang tersebar di seluruh Indonesia dengan 200 cabang, pada tahun 1963?", tanyaku sambil memberi isyarat untuk melanjutkan.

"Ya sudahlah, mama tidak mau lagi mendengar LEKRA, ayo kita jalan... keluar menghirup udara segar", jawab istriku menghentikan ceramahku.

Dan akupun bersama istriku menunggangi motor tua Yamaha Vega-R 110 cc, pergi menelusuri jalan berdebu. Tetapi aku tidak pernah melanjutkan ceramah tentang LEKRA yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan setau saya salah satu anggotanya yang terkenal adalah Om Pram.

(Pancur-Lingga Utara, 23/5/2018

(RS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun