Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dengan Mengajar, Anda Sebenarnya Lebih Banyak Belajar

26 November 2017   21:45 Diperbarui: 27 November 2017   06:24 3556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjawab pertanyaan, mengajarkan sesuatu sebenarnya merupakan cara belajar yang paling baik. Dengan berbagi pengetahuan, justru pengetahuan anda akan semakin berkembang | Ilustrasi (SHUTTERSTOCK) | Sumber: Kompas.com

Pernah memiliki teman yang susahnya minta ampun kalau diminta menerangkan sebuah soal mata pelajaran ketika sekolah dulu? Teman yang sangat pelit membagi ilmunya. Teman yang sangat susah dimintai untuk mengajari.

Jika pernah, anda tidak sendirian. Jika pernah, anda seharusnya mengasihani orang tersebut. Ya, selayaknya dia harus dikasihani. Kok bisa?

Orang tersebut telah menghilangkan sebuah peluang yang sangat berharga dalam hidupnya. Orang itu tidak memanfaatkan peluang emas. Orang itu ditawarkan kesempatan untuk menggali lebih dalam ilmunya, tetapi menutup diri. Orang yang bertanya itu memberikan peluang untuk memperluas pemahamannya, tetapi malah dibuang.

Loh, kok bisa seperti itu? Mungkin pertanyaan ini menjalin-jalin di benak anda. Mungkin pertannyaan ini membuat anda bingung bin merasa aneh.

Wajar, karena tampaknya yang disampaikan di atas tidak logis. Orang yang pintar, memahami persoalan dan mungkin sering juara kelas kok harus dikasihani.

Tetapi, sejati dan senyatanya begitulah adanya. Jika dia menyimpan untuk dirinya sendiri, orang itu sedang menutup kesempatan luas menambah pengetahuannya.


Kagum, Rumus Panjang Kok Bisa Dihapal

Awal tahun sembilan puluhan, Soeharto masih berkuasa, penulis masih duduk sebagai angkatan yang 'wajib' diplonco di kampus Fakultas Ekonomi Padjadjaran. Setiap mengikuti mata kuliah Statistika yang diampu Bapak Sumanang Yusuf, nama sang dosen, selalu muncul kekaguman luar biasa.

Bagaimana tidak kagum? Rumus statistika yang kadang panjangnya hampir 10 meter, bisa dituliskan dengan tepat, rapi dan tidak pake mengulang. Setiap rumus yang kombinasi tambah, kurang, akar dan pangkat untuk mencari korelasi dan regresi serta semacamnya itu seperti bermunculan dari ujung kapur yang menyentuh papan tulis hitam itu. Ya, masih memakai kapur dan papan tulis ketika itu.

Sementara penulis, yang otaknya masih segar, karena belum dirasuki berbagai ide oleh kakak kelas termasuk liberalisme, aktivisme, pemihakan dan sebagainya, tidak mampu menghapal rumus tersebut.

Perasaan lemah dan tidak berdaya di hadapan mata kuliah statistika tiba-tiba menyerang. Dan hasilnya perasaan itu terbukti. Dari tiga mata kuliah Statistika, tidak satupun yang memiliki nilai bagus. Hanya satu agak lumayan, mungkin itu nilai kasihan.

Mungkin, tersugesti negatif. Perasaan lemah di hadapan statistika malah merusak daya juang dan semangat untuk mempelajarinya. Nasi sudah menjadi bubur. Nilai sudah menjadi buruk. Teka-teki soal kemampuan sang dosen menghapal rumus nan panjang dan rumit itu tetap tersimpan.

Hingga kemudian masa itu tiba. Masa yang muncul karena kebutuhan mendesak. Tetapi justru menjadi jalan menemukan jawaban atas teka-teki yang telah menggantung di benak sejak bangku kuliah di semester awal itu.

Pada semester kelima di masa kuliah, penulis mendapatkan kesempatan mengajar Bahasa Inggris di Yayasan LIA Bandung. Setelah lulus dari 4,5 tahun kursus di tempat yang sama, dari tingkat Pre-basic hingga Post Intermediate VI, totalnya kurang lebih 14 tingkat.

Setelah lama mengajar, kurang lebih tahun ke-3, hasilnya buku-buku ajar terhapal luar dalam. Beberapa materi dari buku referensi Bahasa Inggris yang tebal pun terhapal dengan baik. Halaman, paragrafnya, kalimatnya bahkan titik komanya, hafal. Murid-murid pun kagum.

Kadang, mengajar tanpa membawa buku pun dilakukan. Materi sudah terpatri dalam otak. Sebabnya, buku yang digunakan masih sama, materi yang disampaikan tidak berubah. Malah, pemahaman yang semakin luas dan dalam. Giliran selanjutnya, mampu mengembangkan pembelajaran dengan lebih menarik dan inovatif.

Disinilah terjawab teka-teki kekaguman atas dosen statistika saya itu. Bapak dosen saya itu mampu menuliskannya tanpa salah karena dia telah melakukannya selama 30 tahun dalam karirnya sebagai dosen statistika di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Luruh sudah kekaguman saya atas bapak dosen itu. Bukan dia yang otaknya super, tetapi proses melakukannya berulang-ulang selama 30 tahun meningkatkan kemampuannya. Ketika dia mengulang rumus itu, pemahamannya makin tambah. Bahkan, mungkin memori otot jemarinya sudah hapal gerakan, sehingga dapat menemukan kesalahan jika ada.

Sama dengan pemahaman penulis atas materi-materi yang diajarkan. Semakin saya mengajar, semakin terbuka wawasan, pemahaman, teknik mengajarkan, hapal titik komanya bahkan bisa langsung menemukan kesalahan tanpa melihat detil.

Bahkan, kadang-kadang penulis bercanda dengan murid. Tanpa melihat kertas jawabannya atas kuis yang diberikan, penulis pura-pura mencium kertasnya dan mengatakan ada kesalahan.

Ketika diperiksa memang ada. Apakah penciuman penulis memang cukup tajam? Tidak, saya hanya memperhatikan ekspresi murid tersebut ketika mengerjakan soal tersebut. Karena proses mengajar sudah dilakukan bertahun-tahun, bahkan ekspresi pun dapat dipahami.

Belajar lewat berbagi

Demikianlah adanya, mengapa kemudian teman yang dikisahkan di atas harus dikasihani. Sebenarnya ketika seseorang mengajarkan sesuatu, justru sebenarnya yang paling banyak belajar adalah yang mengajar tersebut.

Terlebih lagi jika didorong oleh kewajiban untuk memberikan yang terbaik, berbagai referensi akan dibuka. Penasaran dengan jawaban yang diberikan akan menciptakan proses belajar selanjutnya.

Menjabarkan persoalan berulang-ulang akan menumbukan pemahaman yang lebih bagus. Ingatan akan lebih kuat. Terekspose dengan berbagai model soal akan memberikan kekayaan jalan pemecahan persoalan.

Mengajar juga akan memberikan peluang untuk melihat penyelesaian dengan cara yang lain. Mengajar akan membiasakan otak kita untuk selalu belajar. Hal-hal baru terkait persoalan yang sama akan ditemukan.

Metode-metode untuk mencari jawaban-jawaban akan lebih variatif. Pastinya sebagian pembaca akan ingat dengan trik-trik lembaga bimbingan belajar dengan rumus cepat bahkan rumus super cepat yang diciptakan.

Padahal itu muncul dari proses mengajar dan mengajar serta mengajar. Mengajar merupakan proses belajar yang terbaik. Semakin sering kita berinteraksi tentang satu persoalan, maka semakin baik kita dalam menyelesaikannya.

Jika anda hanya menyimpan pengetahuan anda untuk diri anda sendiri, maka itu adalah kerugian besar bagi diri anda. Proses membagikan lewat mengajar justru mengembangkan kemampuan anda. Proses mengajar justru menjadi metode belajar anda.

Jika suatu saat kelak anda mendapatkan nilai tinggi untuk suatu mata pelajaran, dan ada teman anda yang bertanya, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah bersyukur. Sebabnya, teman anda itu memberikan sebuah peluang emas bagi anda untuk belajar. Termasuk juga belajar mengajar. Belajar bagaimana menerangkan sesuatu hanya anda temukan ketika anda mengajar.

Maka sering-seringlah mengajar. Bukan soal mengajar di dalam kelas. Tetapi, termasuk ketika istri anda menanyakan, "Pah, bagaimana dengan uang jahit kebaya Mamah?". Eta terangkanlah dengan sabar, karena disitu juga anda belajar tentang sebuah pengertian kenapa menjahit kebaya itu bisa mahal.

Bisa jadi ada pertanyaan-pertanyaan lucu, unyu, tidak jelas bahkan random dan sumir dari anak anda. Jawablah dengan baik. Terangkanlah dengan sabar. Sebab disitu anda sedang mengembangkan sebuah kemampuan.

Jadi, jangan pelit dengan ilmu anda. Ilmu anda akan berkembang hanya ketika ilmu itu dibagikan. Jika anda ingin belajar, maka mengajarlah. Setuju?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun