Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gembel, Mimpinya Tidak Seperti Namanya (Bagian 1)

11 April 2017   22:40 Diperbarui: 12 April 2017   18:00 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Butuh 15 tahun bagi Gembel untuk meyakinkan dirinya mewujudkan impiannya. Ide untuk memuliakan kopi kampungya dan para petani telah muncul sejak tahun 2000, ketika mencari jati diri dalam perjalanannya menuntut ilmu di Banda Aceh.

Tanpa pengalaman memiliki bisnis, Gembel memulai impiannya. Dia hanya memiliki keyakinan, bahwa dia mampu. Bahwa dia memiliki darah yang dialiri kopi. Dalam dirinya terpatri kopi. Kurang lebih begitulah semangatnyanya. Tepat pada November 2015, pemuda ini mewujudkan impiannya dengan menata kebun kopinya dan mendirikan warung kopi. Warung kopi ini diberi nama Seladang Café dengantagline Ngopi di Kebun Kopi. Seladang Café terletak di Desa Jamur Ujung, Bener Meriah, Aceh Tengah

Seladang Café, adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap kenyataan yang dirasa mengkungkung. Kenyataan akan ketidakberdayaan petani kopi untuk mendapatkan kemakmuran dari hasil buminya sendiri.

Begitulah adanya. Café sederhana itu didirikan di kebun kopi milik keluarganya. Bangunan Café lebih tepat disebut gubuk. Dinding dari kayu-kayu pohon yang tidak diproses. Pondok-pondok kecil untuk pengunjung memiliki tiang-tiang kayu mentah. Bahkan dinding pondok untuk ngopi sambil lesehan hanya potongan batang pohon kopi yang ditumpuk. Potongan berukuran sekitar 50 cm, kurang lebih.

Satu lagi yang menarik adalah cafe kopi ini seperti berada di negeri antah berantah. Seladang Café ini terletak kurang lebih 25 kilometer dari Kota Takengon dan 84 kilometer dari Bireuen, di Aceh Tengah. Di sekelilingnya tidak ada perkampungan. Hanya ada kebun kopi, pohon-pohon dan semak-semak. Tidak ada lampu penerangan. Ketika malam, cahaya hanya ada di cafenya. Selebihnya dari mobil dan motor yang lewat. Suasananya benar-benar mistis, ketika malam tiba.

Akan sangat mudah terlewatkan, jika tidak diniatkan untuk singgah di warung kopi milik Gembel ini. Gembel, pemilik Café menjelaskan tentang spekulasinya mendirikan kafe dari lokasi yang terpencil dan jauh dari mana-mana itu.

“Saya termasuk berspekulasi dalam mendirikan Seladang Café ini” ujarnya ketika ditanyakan muasal lokasi pendirian café ini. “Di samping ingin mendekatkan masyarakat pecinta kopi ke pohon kopinya, mungkin suasana yang tidak biasa bisa jadi faktor penarik” lanjutnya lagi dengan semangat dalam tampilan yang mirip hippies. Rambutnya dibiarkan gondrongnya tidak tersisir. Berbaju barong Bali warna kuning, menambah kesan kegembelannya. Meskipun sama sekali tidak tampak gembel ketika menceritakan tentang Seladang.

Target utama Gembel adalah para penikmat kopi dari Lhokseumawe, Banda Aceh, Bireun, dan baru Takengon. Alasannya, orang yang hidup sehari-harinya dengan kopi, tidak akan terlalu tertarik untuk datang ke Seladang.

Seladang sendiri bermakna tempat bertemu. Menurut Gembel, Seladang disamping gampang diucapkan, juga merupakan bagian dari budaya Gayo. Seladang adalah sebuah gubuk di tengah sawah. Dulu, lelaki dan perempuan bekerja di sawah di lokasi terpisah. Seladang, sebuah gubuk itu, mejadi tempat bertemu muda-mudi yang menjalin kasih. Mereka tidak bertemu secara fisik.

Mereka tidak bertatap muka. Tidak boleh oleh adat. Mereka berada di dekat seladang dan menyampaiakan kerinduannya dalam bentuk nyanyian dan pantun. Dalam konsepnya, Gembel menuturkan, Seladang menjadi tempat bertemu msyarakat. Bisa bercerita tentang banyak hal. Bisa bersosialisasi. Bisa menguatkan kohesi sosial. Tidak hanya tempat ngopi dan tentang kopi.

Gembel tidak hanya menyajikan kopi dari hasil kebun dan olahannya. Kopi dari masyarakat sekitarnya juga diterima. Cuma disayangkan, kopi yang disajikan dalam bungkus kertas tidak disajikan dengan informasi yang menurutnya perlu. Informasi tentang cara petik, jenisnya, proses pengolahannya, penyimpanannya, proses membungkusnya dan roastingnya perlu. Menurut Gembel informasi itu membantu masyarakat lebih mencintai kopi. “Mengenal kopi yang diminumnya akan menambah kecintaan akan kopi”, jelas Gembel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun