Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sinergi Segitiga Emas Pendidikan Bermutu, Karena Guru Bukan Superman

27 September 2025   22:55 Diperbarui: 27 September 2025   22:55 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita harus kerja sama. Anak Bapak punya banyak potensi, hanya butuh cara berbeda mengarahkannya."

Kami sepakat membuat strategi sederhana, orang tua lebih sabar mendampingi di rumah, saya memberi ruang ekstra di kelas, bertindak menjadi orang tua kedua.

Berperan dalam kasus seperti ini tidak sederhana dan tidak mudah, jujur saja, saya terkadang merasa kewalahan. Guru bukanlah superman. Kami juga manusia yang bisa lelah, bingung. Tetapi ketika melihat realitasnya, saya menyadari apa yang harus saya lakukan. Bukan hanya soal kurikulum, melainkan tentang memberi ruang agar setiap anak bisa tumbuh sesuai potensi uniknya.

Satu kasus lainnya juga menarik. Sering kali orang tua memiliki ekspektasi yang berbeda tentang nilai. Masih ada yang mengukur keberhasilan anak semata-mata dari angka rapor. Padahal, kini dunia kerja dan kehidupan bukan hanya soal ranking, tapi juga kemampuan memecahkan masalah, bekerja dalam tim, atau mengelola stres.

Seorang ibu mengeluhkan nilainya kepada saya. "Bu, kenapa nilai matematika anak saya rendah? Nanti dia tidak bisa bersaing." Saya hampir tak percaya ia menanyakan itu, jadi saya harus meluruskannya. "Nilai anak memang penting Bu, tapi anak Ibu punya kemampuan lain. Ingat waktu proyek STEM? Dia justru paling aktif menyusun ide." Ibu itu akhirnya memahami maksud saya.

Saya meyakini bahwa komunikasi, interaksi untuk membangun kesalahpahaman ini penting. Pendidikan bermutu bukan hanya mengajarkan anak, tetapi juga mengedukasi orang tua.

Satu hal yang makin saya sadari, pendidikan bermutu tidak boleh eksklusif. Ia bukan hak segelintir anak dengan fasilitas lengkap, melainkan hak semua anak, termasuk mereka yang kesulitan belajar, yang emosinya labil, atau yang hidup di lingkungan serba terbatas.

Andra dengan keterbatasan secara emosional, mungkin tidak sesuai menurut ukuran standar nilai akademis, tapi ia pribadi dengan bakat, potensi, sekaligus menjadi tantangan unik.

Tantangan Pendidikan Bermutu dan Inklusif

Di zaman kekinian menuntut keadilan (equity), bukan sekadar kesetaraan. Artinya, setiap anak boleh jadi membutuhkan cara berbeda untuk bisa mencapai hasil yang sama. Ada yang cukup diberi buku, ada yang perlu bimbingan intensif, ada pula yang butuh dukungan emosional lebih besar. Dalam konteks pendidikan bermutu tidak ada satu pun yang tertinggal.

Sebuah refleksi menarik mungkin bisa menjadi penguat pemahaman kita dalam memahami tentang kompleksitas siswa dan pendekatan yang harus kita lakukan.

"Di sebuah hutan belantara, akan dibuat sebuah sekolah untuk para hewan. Mata pelajaran pokoknya adalah berlari, memanjat, terbang, dan berenang. Semua murid berprestasi diharapkan akan mampu menguasai keempat mata pelajaran pokok tersebut. Apa yang terjadi kemudian?.

Si Kucing Hutan ternyata amat pandai dalam mata pelajaran berlari dan memanjat. Dengan cepat ia dapat mengejar mangsanya, bahkan sampai ke bagian atas pohon yang cukup tinggi. Namun, sayangnya, ia cukup mengalami kesulitan dalam mata pelajaran berenang karena ia memang sangat takut pada air. Apalagi dalam pelajaran terbang. Berkali-kali ia memanjat pohon yang cukup tinggi, kemudian mencoba melompat ke bawah bagaikan seekor burung yang hendak terbang. Berkali-kali pula si Kucing Hutan jatuh terguling-guling kesakitan. Akibatnya, ia tidak mampu berlari dan memanjat sama sekali, suatu bidang yang semula amat dikuasainya.

Lain halnya dengan si Bebek, ia cukup mahir dalam mata pelajaran berenang, terbang pun untuk jarak yang tidak terlampau jauh ia mampu, namun untuk berlari dengan cepat, ia mengalami kesulitan. Apalagi untuk memanjat pohon. Bahkan berkali-kali ia mencoba untuk memanjat pohon, sampai akhirnya usahanya sia-sia, malah karena luka-luka yang dialaminya, ia jadi terhambat untuk berenang dan terbang. Sayang sekali bukan?".

Ilustrasi dongeng di atas mewakili apa yang tersaji di hadapan kita sekarang ini. Pendidikan anak kita di sekolah mestinya harus bisa membantu anak menemukan kreativitas mereka yang tersembunyi, menghargai, dan memberi kesempatan membuktikan kemampuannya untuk berkreasi, berimajinasi, belajar seperti keinginannya. Dan harus inklusif, bisa dinikmati semua kalangan. Tapi jelas ini tidak sesederhana yang kita bayangkan kan?.

Sekolah kita sampai saat ini masih membebani anak-anak kita dengan muatan pelajaran yang padat, meng-generalisasi-kan para siswa seolah mereka mempunyai kemampuan dan minat yang sama. Dan mereka mempelajari pelajaran yang belum tentu sesuai dengan minat-bakatnya. Dan masih bersifat eksklusif.

Kini tantangan kita jauh lebih rumit, pendidikan bermutu yang lebih kompleks dari sekadar pengajaran di kelas. Bukan hanya bicara soal akses dan kehadiran, tapi juga kualitas kurikulum, keahlian tenaga pendidik, relevansi materi pembelajaran, dan infrastruktur yang mendukung proses belajar mengajar.

UNESCO, melalui Quality Framework for Education, menyebut bahwa pendidikan berkualitas harus mencakup dimensi input, proses, dan output.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun