Dibandingkan dulu, pendidikan sekarang jelas jauh berbeda, tidak lagi sekedar memberi buku pelajaran, menyalin, lalu mengujinya dengan angka. Waktu sudah melesat jauh sejak kita masuk ke milenium baru 2000. Teknologi hadir di ruang kelas, siswa dituntut harus berpikir kritis, kreatif, berkolaborasi, dan punya daya lenting emosional yang lebih fleksibel ketika harus bersaing.
Jika tantangannya seberat itu, pertanyaan mendasarnya adalah siapa yang harus bertanggung jawab membentuk generasi tangguh itu? Guru Orang tua? Atau murid? Mestinya jawaban yang ideal, ketiganya harus berpartisipasi aktif. Ini kerja kolektif, kerja bersama bukan parsial.
Bagaimanapun pendidikan bermutu di kekinian zaman tidak bisa lagi dibebankan secara parsial pada satu pihak saja. Guru tidak mungkin bekerja sendiri di ruang kelas, murid tidak bisa tumbuh tanpa bimbingan, dan orang tua juga tidak bisa sekadar menyerahkan semuanya pada sekolah. Tanpa kolaborasi, pendidikan hanya akan jadi rutinitas, bukan proses yang benar-benar menguatkan generasi.
Guru, Orang Tua, dan Peran Ganda
Sekira sebulan lalu, saya mendapat siswa pindahan. Tak ada yang aneh dari tampilan Andra. Secara fisik juga proporsional. Tapi di satu sesi diskusi kelompok, tiba-tiba ia berubah menjadi pemberontak, tidak bisa mengendalikan diri. Berubah menjadi temperamental, emosinya meledak, dan sulit mengikuti aturan sederhana saat bersosialisasi dengan teman-temannya. Bahkan ia menjadi "penganggu".
Alasannya kadang kala sepele, karena idenya tidak dipilih. Buku tulis dan tasnya dilempar di depan kelas. Saya dekati perlahan, berjongkok di sampingnya.
"Kenapa kamu marah?".
"Mereka pikir cuma mereka yang pintar. Aku juga punya ide!".
Saya tidak lagi bertugas menenangkan kelas, tapi juga memberi ruang agar dia tetap merasa bagian dari kelompok. Jadi saya ajukan usulan. "Kalau begitu, kamu tulis idemu dulu di kertas? Nanti kita coba bandingkan dengan ide kelompok. Kita pilih mana yang terbaik, tapi semua tetap dibacakan."
Dia menerima usulan, dan perlahan emosi mereda.
Sejatinya tugas guru sekarang ini semakin tidak mudah. Apalagi jika harus menghadapi siswa dengan kondisi seperti Andra. Tuntutannya bukan hanya bimbingan akademis, tapi juga menemukan cara agar siswa tersebut bisa tetap bersaing dan belajar bersama teman-teman lainnya. Guru menjadi orang tua kedua. Tidak hanya hadir sekedar mengajar, tetapi mengasuh.
Saya komunikasikan juga kepada orang tuanya, perihal kejadian itu. Ternyata orang tuanya juga mengalami kondisi yang sama, kewalahan dengan sikapnya.
"Kita harus kerja sama. Anak Bapak punya banyak potensi, hanya butuh cara berbeda mengarahkannya."
Kami sepakat membuat strategi sederhana, orang tua lebih sabar mendampingi di rumah, saya memberi ruang ekstra di kelas, bertindak menjadi orang tua kedua.
Berperan dalam kasus seperti ini tidak sederhana dan tidak mudah, jujur saja, saya terkadang merasa kewalahan. Guru bukanlah superman. Kami juga manusia yang bisa lelah, bingung. Tetapi ketika melihat realitasnya, saya menyadari apa yang harus saya lakukan. Bukan hanya soal kurikulum, melainkan tentang memberi ruang agar setiap anak bisa tumbuh sesuai potensi uniknya.
Satu kasus lainnya juga menarik. Sering kali orang tua memiliki ekspektasi yang berbeda tentang nilai. Masih ada yang mengukur keberhasilan anak semata-mata dari angka rapor. Padahal, kini dunia kerja dan kehidupan bukan hanya soal ranking, tapi juga kemampuan memecahkan masalah, bekerja dalam tim, atau mengelola stres.
Seorang ibu mengeluhkan nilainya kepada saya. "Bu, kenapa nilai matematika anak saya rendah? Nanti dia tidak bisa bersaing." Saya hampir tak percaya ia menanyakan itu, jadi saya harus meluruskannya. "Nilai anak memang penting Bu, tapi anak Ibu punya kemampuan lain. Ingat waktu proyek STEM? Dia justru paling aktif menyusun ide." Ibu itu akhirnya memahami maksud saya.
Saya meyakini bahwa komunikasi, interaksi untuk membangun kesalahpahaman ini penting. Pendidikan bermutu bukan hanya mengajarkan anak, tetapi juga mengedukasi orang tua.
Satu hal yang makin saya sadari, pendidikan bermutu tidak boleh eksklusif. Ia bukan hak segelintir anak dengan fasilitas lengkap, melainkan hak semua anak, termasuk mereka yang kesulitan belajar, yang emosinya labil, atau yang hidup di lingkungan serba terbatas.
Andra dengan keterbatasan secara emosional, mungkin tidak sesuai menurut ukuran standar nilai akademis, tapi ia pribadi dengan bakat, potensi, sekaligus menjadi tantangan unik.
Tantangan Pendidikan Bermutu dan Inklusif
Di zaman kekinian menuntut keadilan (equity), bukan sekadar kesetaraan. Artinya, setiap anak boleh jadi membutuhkan cara berbeda untuk bisa mencapai hasil yang sama. Ada yang cukup diberi buku, ada yang perlu bimbingan intensif, ada pula yang butuh dukungan emosional lebih besar. Dalam konteks pendidikan bermutu tidak ada satu pun yang tertinggal.
Sebuah refleksi menarik mungkin bisa menjadi penguat pemahaman kita dalam memahami tentang kompleksitas siswa dan pendekatan yang harus kita lakukan.
"Di sebuah hutan belantara, akan dibuat sebuah sekolah untuk para hewan. Mata pelajaran pokoknya adalah berlari, memanjat, terbang, dan berenang. Semua murid berprestasi diharapkan akan mampu menguasai keempat mata pelajaran pokok tersebut. Apa yang terjadi kemudian?.
Si Kucing Hutan ternyata amat pandai dalam mata pelajaran berlari dan memanjat. Dengan cepat ia dapat mengejar mangsanya, bahkan sampai ke bagian atas pohon yang cukup tinggi. Namun, sayangnya, ia cukup mengalami kesulitan dalam mata pelajaran berenang karena ia memang sangat takut pada air. Apalagi dalam pelajaran terbang. Berkali-kali ia memanjat pohon yang cukup tinggi, kemudian mencoba melompat ke bawah bagaikan seekor burung yang hendak terbang. Berkali-kali pula si Kucing Hutan jatuh terguling-guling kesakitan. Akibatnya, ia tidak mampu berlari dan memanjat sama sekali, suatu bidang yang semula amat dikuasainya.
Lain halnya dengan si Bebek, ia cukup mahir dalam mata pelajaran berenang, terbang pun untuk jarak yang tidak terlampau jauh ia mampu, namun untuk berlari dengan cepat, ia mengalami kesulitan. Apalagi untuk memanjat pohon. Bahkan berkali-kali ia mencoba untuk memanjat pohon, sampai akhirnya usahanya sia-sia, malah karena luka-luka yang dialaminya, ia jadi terhambat untuk berenang dan terbang. Sayang sekali bukan?".
Ilustrasi dongeng di atas mewakili apa yang tersaji di hadapan kita sekarang ini. Pendidikan anak kita di sekolah mestinya harus bisa membantu anak menemukan kreativitas mereka yang tersembunyi, menghargai, dan memberi kesempatan membuktikan kemampuannya untuk berkreasi, berimajinasi, belajar seperti keinginannya. Dan harus inklusif, bisa dinikmati semua kalangan. Tapi jelas ini tidak sesederhana yang kita bayangkan kan?.
Sekolah kita sampai saat ini masih membebani anak-anak kita dengan muatan pelajaran yang padat, meng-generalisasi-kan para siswa seolah mereka mempunyai kemampuan dan minat yang sama. Dan mereka mempelajari pelajaran yang belum tentu sesuai dengan minat-bakatnya. Dan masih bersifat eksklusif.
Kini tantangan kita jauh lebih rumit, pendidikan bermutu yang lebih kompleks dari sekadar pengajaran di kelas. Bukan hanya bicara soal akses dan kehadiran, tapi juga kualitas kurikulum, keahlian tenaga pendidik, relevansi materi pembelajaran, dan infrastruktur yang mendukung proses belajar mengajar.
UNESCO, melalui Quality Framework for Education, menyebut bahwa pendidikan berkualitas harus mencakup dimensi input, proses, dan output.
Input meliputi sarana fisik, tenaga pendidik, dan kurikulum yang sesuai. Proses mengacu pada interaksi yang terjadi dalam kelas, termasuk metode pengajaran, aktivitas pembelajaran, serta pendekatan yang digunakan guru. Sedangkan output mencakup hasil belajar yang dicapai siswa, termasuk kemampuan kognitif dan keterampilan sosial yang siap diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
The World Bank bahkan mensyaratkan pendidikan berkualitas melibatkan kemampuan dasar siswa seperti literasi dan numerasi yang kuat, ditambah kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah.
Konsep pendidikan berkualitas dipantau melalui berbagai indeks, seperti Programme for International Student Assessment (PISA) dan Human Development Index (HDI) dari UNDP. PISA menilai keterampilan membaca, matematika, dan sains siswa berusia 15 tahun dari berbagai negara sebagai tolok ukur internasional pendidikan. Sementara HDI menggunakan pendidikan sebagai salah satu faktor yang mengukur tingkat kemajuan sebuah negara.
Sejauh ini, kebijakan Merdeka Belajar telah mendorong kebebasan sekolah dan guru untuk mengembangkan metode pengajaran yang relevan dan inovatif, sesuai dengan kebutuhan siswa. Begitu juga dengan pendidikan inklusif bagi anak-anak berkebutuhan khusus agar mendapatkan pendidikan setara.
Kita masih harus memastikan kurikulum yang disusun relevan dengan kebutuhan siswa dan perkembangan zaman. Dalam laporan The Global Education Monitoring Report oleh UNESCO, Indonesia bahkan direkomendasikan untuk memperkuat pendekatan pembelajaran yang kontekstual dan berbasis kearifan lokal agar lebih relevan dan efektif.
Dengan semakin kompleksnya tantangan pendidikan kita, kadang kala saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya sudah cukup?
Bagaimanapun menjadi guru di era kekinian bukan hanya soal metode mengajar, melainkan tentang kesediaan untuk terus belajar. Belajar sabar, belajar berkomunikasi dengan orang tua, belajar memahami psikologi anak, bahkan belajar mengakui keterbatasan diri.
Saya teringat dengan gagasan Manusia Pembelajar. Tujuan utama dari lifelong learning adalah pengembangan kemampuan personal (personal growth). Saya belajar bahwa mendidik itu bukan hanya tentang memberi ilmu, tetapi juga mendengarkan. Bahwa kadang yang dibutuhkan murid bukan rumus matematika, melainkan keyakinan bahwa ada orang dewasa yang percaya padanya.
Ketika guru, murid, dan orang tua berkolaborasi, hasilnya bisa luar biasa. Orang tua bisa memahami anaknya membutuhkan ruang berbeda, bukan label "bodoh". Siswa merasa bisa diterima, bukan hanya dihakimi. Dan saya sebagai guru merasa tidak sendirian, karena ada dukungan di belakang saya. Saya kira gagasan segitiga kolaborasi bisa mengubah perjalanan seorang anak, agar lebih siap hadapi tantangan Abad 21.
Kekinian zaman menuntut keterampilan baru, tantangan baru, sekaligus peluang baru. Tetapi fondasinya tetap sama: sinergi. Guru tidak bisa bekerja sendiri, murid tidak bisa berkembang tanpa bimbingan, orang tua tidak bisa hanya menyerahkan sepenuhnya pada sekolah. Pendidikan bermutu adalah hasil kolaborasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI