Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Keracunan MBG Berulang, Sistem Terpusat Memudahkan atau Rentan Masalah?

24 September 2025   01:54 Diperbarui: 24 September 2025   01:54 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
siswa keracunan MBG-kompas.com

Rutinitas yang baru di sekolah saya sekarang ini, setiap hari menjelang jam istirahat, sebuah mobil boks dengan pintu geser berwarna putih, rutin masuk ke halaman sekolah. Dua petugasnya langsung bergerak cepat menurunkan perangkat makan dari alumunium yang sudah diikat berisi masing-masing 5 porsi.

Seorang guru ditugaskan mengawasi dan mengontrol distribusinya biar terbagi rata ke semua siswa. Begitulah rutinitas harian sejak Program Makan Bergizi Gratis (MBG) berjalan.

Tapi sewaktu kasus keracunan program MBG kembali muncul berulang hingga ke sekian kalinya, dan semakin meruak, kejadian itu tiba-tiba jadi insiden dan preseden buruk bagi program tersebut. Kalangan sekolah mulai bertanya-tanya, kenapa anak-anak yang awalnya sehat datang dari rumah, setelah menyantap "makanan bergizi" justru tumbang-jatuh sakit.

Sejatinya semua pihak harus ikut mengkaji, darimana atau dimana asal muasal sumber masalahnya?. Apakah bahan bakunya yang memang sudah kadaluarsa, sistem mengolah masakannya yang tidak sesuai standar atau jangan-jangan bahan bakunya terkontaminasi bahan lain, sehingga jadi beracun.

Sekarang, orang-orang yang skeptis sejak awal dengan program ini mulai berpikir, bahwa program ini pada akhirnya telah berubah jadi "proyek" formalitas, dikerjakan ala kadarnya. Buktinya ya banyaknya kasus keracunan yang menandakan ada pengelolaan yang salah atau disalahgunakan demi kepentingan profit belaka.

Padahal, program yang seharusnya jadi solusi meningkatkan gizi dan kecerdasan siswa, justru berubah menjadi insiden yang membahayakan nyawa. Kita mungkin berasumsi bisa saja semua ini bermula karena teledornya perusahaan penyedia katering, petugas distribusi, atau bahkan pihak sekolah.

Analisa kemungkinan akar masalahnya yang paling menarik adalah ketika kita mencoba melihat sumbernya pada kelemahan sistemik di hulu, yaitu model penyediaan makanan yang terpusat dan berisiko tinggi.

Distribusi di kendalikan dari satu titik. Jika tanpa kendali dan kontrol mutu yang benar, bisa berakibat fatal seperti munculnya kasus keracunan makanan.

Barangkali analisa itu ada benarnya. Jika kita telusuri, untuk melayani ribuan siswa, penyediaan makanan mulai disiapkan di dapur umum sejak malam hari. Proses memasaknya dalam jumlah besar dilanjutkan pada pagi hari, sebelum dilanjutkan didistribusikan sebelum jam istirahat siang, harus tiba di berbagai sekolah.

Sebaik apapun jenis menunya, jika sudah melalui proses tunggu yang panjang sejak makanan diproses, distribusi hingga siap santap bisa menjadi sebab timbulnya masalah, seperti keracunan yang baru-baru ini terjadi karena sangat rentan terkontaminasi. Seperti kemungkinan pertumbuhan bakteri dan kuman, seperti E. coli atau Staphylococcus aureus.

siswa keracunan MBG-kompas.id
siswa keracunan MBG-kompas.id

Sistem Terpusat Memudahkan atau Rentan Masalah?

Benarkah jika ada yang berpendapat atau berasumsi jika sistem yang selama ini dipilih Pemerintah dan mengelola dan mendistribusikan MBG secara sentralisasi dianggap sebagai sumber masalahnya?.

Buktinya meskipun pengawasan ditambah dan diperketat, namun kasus keracunan makanan program MBG masih saja berulang. Apakah artinya Pemerintah harus mengevaluasi kembali, lalu mengubah paradigmanya?. Bahwa model sentralisasi memang menjadi titik lemah terjadinya berbagai kasus keracunan.

Benarkah jika solusinya adalah mengembalikan semua pengelolaan MBG ke sekolah masing-masing?. Apakah tidak akan justru menjadi sumber masalah baru, karena ditangani internal, menu dan kandungan gizinya berubah?. Atau menjadi pekerjaan rumah baru bagi sekolah. Sudah sibuk dengan proses belajar mengajar, harus mengurus soal makan.

Tentu saja wajar jika pendapat itu menuai polemik. Hingga di media muncul gagasan agar sudah saatnya kita melakukan desentralisasi penyediaan MBG dengan mengembalikan dapur ke sekolah dan melibatkan komunitas secara aktif. Menurut analisa mereka, jika model yang dijalankan berpusat di masing-masing sekolah dengan dapurnya sendiri yang dikelola bersama Komite Sekolah, makanan yang akan dikonsumsi siswa dimasak hanya beberapa saat sebelum jam makan siang, sehingga bisa memastikan setiap anak menerima santapan yang segar, hangat, dan aman.

Logikanya masuk akal, karena sebenarnya pilihan Model desentralisasi tersebut menawarkan banyak keunggulan. Pertama, jaminan keamanan dan kesegaran pangan. Kedua, pengawasan langsung dari orangtua. Melalui Komite Sekolah, para orangtua bisa ikut serta mengawasi pemilihan bahan baku, kebersihan dapur, hingga proses memasak. Ketiga, model ini menghidupkan kembali semangat gotong royong dan rasa memiliki komunitas sekolah terhadap program.

Tapi jika memang model Desentralisasi dipilih, bukan berarti pemerintah pusat dan daerah lepas tangan. Justru, peran mereka berubah menjadi fasilitator dan pengawas kualitas, sehingga mereka bisa menjadi pemegang kendali utama.

siswa keracunan MBG-kompas.com
siswa keracunan MBG-kompas.com

Jadi nantinya, perubahan alurnya dalam penyediaan MBG dimulai dari; Badan Gizi Nasional menetapkan standar higienitas dan sanitasi untuk setiap dapur sekolah. Dinas Kesehatan melalui Puskesmas setempat memberikan pelatihan kepada para juru masak (yang bisa direkrut dari lingkungan orangtua murid), dan melakukan inspeksi rutin secara berkala. Sinergi antara partisipasi komunitas dan pengawasan profesional dari Pemda tersebut akan menciptakan ekosistem penyediaan makanan yang lebih baik.

Contoh yang dipaparkan banyak media menyebut bahwa pengalaman Finlandia patut dijadikan contoh. Negara tersebut adalah negara pertama di dunia yang menyediakan makan siang gratis sejak 1948, dan menariknya programnya dilakukan secara desentralisasi. Setiap sekolah memiliki dapurnya sendiri dengan standar nutrisi yang diawasi ketat. Dapur di sekolah bukan hanya tempat memasak, tetapi pusat edukasi, pemberdayaan komunitas, dan penggerak ekonomi lokal.

Jika Finlandia telah menunjukkan hasil yang positif, mengapa Indonesia tidak mengikuti jejaknya sejak awal?. Apakah karena "kultur kejujuran" kita sangat berbeda, sehingga bisa saja membuat program MBG ini direkayasa dengan mudah jika didesentralisasikan?.

Padahal jika sejak awal desentralisasi tetap tidak bisa diberlakukan, maka pengawasan harus diperketat misalnya dengan melibatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di semua rantai pasok pengadaan bahan pangan, proses pengolahan, sampai ke uji acak makanan sebelum didistribusikan. Jadinya semua makanan kontrolnya terkendali dan bisa menjamin keamanan pangan yang akan dikonsumsi siswa di semua sekolah yang memiliki program MBG. Tidak perlu kuatir bakal ada kasus keracunan seperti sekarang ini.

Tapi memulai program itu tidak sesederhana hanya men-duplikasi kesuksesan Finlandia. Indonesia masih punya banyak titik lemah sekalipun program dilengkapi legalitas. Ada saja yang mengail di air keruh.  

Jika berpikir realistis dengan melihat kelemahan manajemen, legalitas dan sebagainya, tentu kita tidak mau berspekulasi demi keamanan dan kesehatan anak-anak-anak kita.

Meskipun BPOM berencana mengadakan pembekalan bagi sekitar 30.000 Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) untuk mendukung program MBG, khusus terkait keamanan pangan dan gizi, pilihan kebijakan ini juga patut dikawal dan dievaluasi lebih mendalam.

Bagaimanapun kebijakan ini menarik, mengingat nantinya ada kapasitas SDM yang bisa mengawasi atau mengevaluasi elemen keamanan pangan MBG. Itu artinya Pemerintah masih konsisten memilih sentralisasi dalam urusan MBG sekalipun banyak kasus keracunan yang terjadi.

SPPI nantinya diproyeksikan sebagai Kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) pada dapur-MBG di daerah. Mereka akan bertugas mengawasi pelaksanaan operasional, memastikan standar keamanan dan kebersihan, serta membantu memastikan distribusi pangan yang aman dan bergizi. Semoga tidak lagi terulang kasus-kasus keracunan yang menimpa siswa-siswa kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun