Logikanya masuk akal, karena sebenarnya pilihan Model desentralisasi tersebut menawarkan banyak keunggulan. Pertama, jaminan keamanan dan kesegaran pangan. Kedua, pengawasan langsung dari orangtua. Melalui Komite Sekolah, para orangtua bisa ikut serta mengawasi pemilihan bahan baku, kebersihan dapur, hingga proses memasak. Ketiga, model ini menghidupkan kembali semangat gotong royong dan rasa memiliki komunitas sekolah terhadap program.
Tapi jika memang model Desentralisasi dipilih, bukan berarti pemerintah pusat dan daerah lepas tangan. Justru, peran mereka berubah menjadi fasilitator dan pengawas kualitas, sehingga mereka bisa menjadi pemegang kendali utama.
Jadi nantinya, perubahan alurnya dalam penyediaan MBG dimulai dari; Badan Gizi Nasional menetapkan standar higienitas dan sanitasi untuk setiap dapur sekolah. Dinas Kesehatan melalui Puskesmas setempat memberikan pelatihan kepada para juru masak (yang bisa direkrut dari lingkungan orangtua murid), dan melakukan inspeksi rutin secara berkala. Sinergi antara partisipasi komunitas dan pengawasan profesional dari Pemda tersebut akan menciptakan ekosistem penyediaan makanan yang lebih baik.
Contoh yang dipaparkan banyak media menyebut bahwa pengalaman Finlandia patut dijadikan contoh. Negara tersebut adalah negara pertama di dunia yang menyediakan makan siang gratis sejak 1948, dan menariknya programnya dilakukan secara desentralisasi. Setiap sekolah memiliki dapurnya sendiri dengan standar nutrisi yang diawasi ketat. Dapur di sekolah bukan hanya tempat memasak, tetapi pusat edukasi, pemberdayaan komunitas, dan penggerak ekonomi lokal.
Jika Finlandia telah menunjukkan hasil yang positif, mengapa Indonesia tidak mengikuti jejaknya sejak awal?. Apakah karena "kultur kejujuran" kita sangat berbeda, sehingga bisa saja membuat program MBG ini direkayasa dengan mudah jika didesentralisasikan?.
Padahal jika sejak awal desentralisasi tetap tidak bisa diberlakukan, maka pengawasan harus diperketat misalnya dengan melibatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di semua rantai pasok pengadaan bahan pangan, proses pengolahan, sampai ke uji acak makanan sebelum didistribusikan. Jadinya semua makanan kontrolnya terkendali dan bisa menjamin keamanan pangan yang akan dikonsumsi siswa di semua sekolah yang memiliki program MBG. Tidak perlu kuatir bakal ada kasus keracunan seperti sekarang ini.
Tapi memulai program itu tidak sesederhana hanya men-duplikasi kesuksesan Finlandia. Indonesia masih punya banyak titik lemah sekalipun program dilengkapi legalitas. Ada saja yang mengail di air keruh. Â
Jika berpikir realistis dengan melihat kelemahan manajemen, legalitas dan sebagainya, tentu kita tidak mau berspekulasi demi keamanan dan kesehatan anak-anak-anak kita.
Meskipun BPOM berencana mengadakan pembekalan bagi sekitar 30.000 Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) untuk mendukung program MBG, khusus terkait keamanan pangan dan gizi, pilihan kebijakan ini juga patut dikawal dan dievaluasi lebih mendalam.
Bagaimanapun kebijakan ini menarik, mengingat nantinya ada kapasitas SDM yang bisa mengawasi atau mengevaluasi elemen keamanan pangan MBG. Itu artinya Pemerintah masih konsisten memilih sentralisasi dalam urusan MBG sekalipun banyak kasus keracunan yang terjadi.
SPPI nantinya diproyeksikan sebagai Kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) pada dapur-MBG di daerah. Mereka akan bertugas mengawasi pelaksanaan operasional, memastikan standar keamanan dan kebersihan, serta membantu memastikan distribusi pangan yang aman dan bergizi. Semoga tidak lagi terulang kasus-kasus keracunan yang menimpa siswa-siswa kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI