Setiap orang punya cara berbeda dalam merayakan pencapaian pertamanya. Ada yang merayakannya dengan membeli barang impian, berlibur, atau sekadar mentraktir teman-teman terdekat. Tapi bagi saya, tidak ada selebrasi yang lebih membahagiakan selain menjadikan impian ibu sebagai kenyataan.
Mungkin bukan hanya saya yang pernah bernazar ketika sebuah impian akhirnya terwujud. Nazar itu menjadi semacam doa, yang sejatinya ingin kita berikan dengan tulus kepada seseorang yang kita anggap paling istimewa, paling berjasa---dan bagi saya, itu adalah ibu.
Sebuah hadist yang begitu menyentuh hati selalu terngiang-ngiang dalam benak saya---"Siapakah yang paling berhak dihormati?" Nabi menjawab, "Ibumu." Ditanya lagi, "Lalu siapa?" Nabi menjawab, "Ibumu." Ditanya lagi, "Kemudian siapa?" Nabi menjawab, "Ibumu." Baru pada kali keempat Nabi menjawab, "Ayahmu." Saya meresapi makna itu, terutama ketika mengingat masa-masa sulit membangun awal karier.
Makna itu meresap dalam diri saya, terutama ketika mengenang hari-hari pertama memulai pekerjaan. Saya masih ingat bagaimana saya mencium tangan ibu dan memeluknya setiap pagi sebelum berangkat. Harapannya sederhana, mendapat berkah dari kasih sayangnya. Dan dari situlah, langkah saya dimulai.
Saya masih ingat dengan jelas pagi pertama saat resmi menyandang status sebagai pegawai tetap. Ada rasa haru dan bangga yang bercampur jadi satu. Tapi di balik rasa itu, yang paling pertama hadir adalah wajah ibu. Sosok yang tak pernah absen dari setiap langkah hidup saya---dalam diamnya, doanya menjadi benteng paling kuat yang saya punya. Maka nazar pertama saya pun muncul, Saya ingin sejak gaji pertama membelikan emas dan membuka tabungan haji untuk ibu.
Setiap pagi, sebelum berangkat kerja, saya mencium tangan ibu, memeluknya, dan berharap mendapatkan keberkahan dari kasih sayangnya. Saya percaya betul, keberhasilan itu tidak hanya lahir dari kerja keras, tetapi juga dari doa seorang ibu yang terus dipanjatkan dalam senyap. Dan ketika impian saya menjadi nyata, saya tahu, ini bukan hanya untuk saya---tapi juga untuk ibu.
Sebenarnya dalam banyak tradisi masyarakat, terutama di Aceh tempat saya dibesarkan, nazar adalah bentuk janji spiritual yang menjadi perpanjangan doa. Dan bagi saya, nazar itu bukan sekadar janji, tetapi ungkapan cinta paling dalam yang saya miliki untuk seseorang yang telah mengorbankan seluruh hidupnya demi saya yaitu ibu.
Satu hal yang paling mengejutkan dan membahagiakan adalah ketika saya tahu bahwa profesi yang saya jalani saat ini ternyata adalah profesi impian ibu. Dahulu, karena mungkin belum keberuntungannya, ibu hanya bekerja sebagai rektorat dan akhirnya impian menjadi guru dikuburnya. Tapi kini, saya mewujudkannya---bukan hanya sebagai pencapaian pribadi, tapi sebagai cara untuk mewariskan harapan yang dulu sempat terhenti.
"Akhirnya tercapai impian ibu," begitu kata ibu sewaktu mendapat kabar pertama kelulusanku.
Langkah "Emas" itu Dimulai
Begitu berita gaji pertama saya masuk, bahkan jumlahnya di rapel, akumulasi selama beberapa bulan langsung saya putuskan menyisihkannya semua dalam wujud investasi "mayam" emas. Mengapa emas? Karena memang dalam budaya Aceh, emas bukan sekadar logam mulia, tapi bagian dari nilai sosial, spiritual, bahkan identitas. Emas adalah lambang kemuliaan, keteguhan, dan juga penghormatan. Dalam keluarga kami, emas juga menjadi simbol doa yang abadi---bahwa cinta kepada ibu tidak boleh lekang oleh waktu.
Dengan pilihan kesyariatan yang disandang Aceh yang berjuluk Serambi Makkah, tradisi menyimpan emas di Aceh juga tidak bisa dilepaskan dari dimensi religius. Emas dianggap bagian dari sunah, sebagai bentuk kekayaan yang halal, stabil, dan penuh makna. Di berbagai pelosok Aceh, emas juga menjadi harta yang bisa diwariskan, pengikat nilai keluarga, dan penopang dalam kondisi krisis.