Di negeri kita, mencari kerja kadang terasa seperti ikut ajang pencarian bakat—bukan karena kompetensi diuji, tapi karena wajah dan usia ikut menjadi pertimbangan utama. Syarat “berpenampilan menarik” dan “usia maksimal sekian tahun” masih sering muncul dalam berbagai lowongan kerja, bahkan untuk posisi yang tidak memerlukan interaksi dengan publik secara langsung. Wajar saja jika kemudian muncul polemik.
Kenyataan itu membuat kita berpikir, apakah dunia kerja kita benar-benar menghargai keahlian, atau masih terjebak dalam standar-standar semu yang diskriminatif? Apakah pekerjaan di balik layar—seperti programmer, analis data, atau teknisi—benar-benar membutuhkan wajah rupawan dan usia muda untuk bisa dikerjakan dengan baik?
Namun ketika pemerintah mewacanakan penghapusan dua syarat tersebut, kenyataan di lapangan belum tentu bisa berubah secepat itu. Bagaimanapun dunia kerja kita masih saja menilai calon pekerja bukan dari kompetensi, tapi justru dari citra luarnya.
Ketika aturan mulai digugat dan dibenahi, pertanyaan yang ingin kita ketahui jawabannya bukan “siapa yang akhirnya bisa melamar”, tetapi “apakah tempat kerja kita benar-benar siap menerima keberagaman itu?”.
Ironi dalam Kegembiraan Job Fair
Saat acara Job Fair yang digelar oleh Kemenaker belum lama ini, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer mengatakan syarat tersebut menyulitkan pencari kerja. Lantas beliau ber-statement bahwa, "Sebentar lagi surat edaran akan kami (Kemenaker) keluarkan," ujarnya saat menutup Job Fair Kemenaker 2025, Jumat (23/5/2025), dikutip dari YouTube Kementerian Ketenagakerjaan.
Apakah menghapus dua syarat yang selama ini dianggap sangat mengganggu cukup untuk menjawab kompleksitas pengangguran di Indonesia? Ataukah ini hanya tambal sulam kebijakan yang terdengar populis, namun secara struktural belum menyentuh akar masalah?
Jika Job fair menunjukkan antusiasme orang berebut kerja justru menunjukkan bahwa begitu banyak orang yang belum kebagian jatah lowongan kerja, salah satu karena sebab syarat yang tidak proporsional dengan kebutuhan jenis pekerjaan yang dilamarnya.
Kenyataan itu justru bukanlah citra ideal dari kemajuan. Tapi malah menggambarkan adanya titik lemah dalam kebijakan kita menyediakan lapangan kerja.
Tetapi itulah yang terjadi di tengah gegap gempita Job Fair 2025 yang diselenggarakan Kementerian Ketenagakerjaan. Sebuah ironi dalam dunia kerja Indonesia. Di satu sisi kita merayakan penghapusan prasyarat "good looking" dan batas usia dalam lowongan kerja, tapi di sisi lain gelombang PHK tetap tak terbendung, dan jutaan orang masih menganggur.
Menunggu Implementasi di Lapangan
Sebenarnya syarat 'Good Looking' dan usia telah menjadi bukti adanya diskriminasi yang sudah terlalu lama dibenarkan. Syarat seperti "usia maksimal 25 tahun" atau "berpenampilan menarik" telah terlalu lama menjadi semacam standar tak tertulis di banyak perusahaan. Dalam praktiknya, ini adalah bentuk diskriminasi yang dilegalkan. Menghapusnya memang perlu---dan penting sebagai simbol bahwa kita bergerak ke arah kesetaraan kesempatan kerja.