Aku adalah bagian dari 987.000 orang yang hidupnya setiap hari bergantung pada si ular besi-julukan yang tersemat untuk kereta api. Di hari-hari kuliah dan kerja dengan rutinitas biasa.Â
Setidaknya untuk wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) dihuni ribuan anker-anak kereta pengguna KRL. Julukan yang melekat karena ketergantungan yang kami ciptakan sendiri terhadap KRL-kereta rel listrik karena sebuah harapan bisa memiliki kenyamanan yang mahal, tapi bisa aku peroleh dengan harga murah, mudah dan cepat.
Kenyamanan yang bisa aku nikmati bertahun-tahun dari masa sulit penuh perjuangan sebelum akhirnya bisa menjadi "orang", dalam arti hakikat memiliki tingkat kehidupan yang lebih baik dan memadai.
Kisah anker dan jasa kereta api yang membantu mengantarkanku dari keprihatinan hingga menjadi berkecukupan, mungkin hanya segelintir cerita random yang juga dialami oleh banyak orang.
Perjalanan panjang kereta api dan Commuter juga tak pernah berhenti berbenah diri. Berkembang pelan tapi pasti dalam proses yang panjang, dan aku ikut merasakan dan menikmati setiap perubahan itu, dengan semakin bertambah nyaman dan baik layanan dan fasilitas yang bisa aku rasakan.
Momentum itu terasa seperti dejavu dalam konteks kebangkitan nasional yang baru kita rayakan 20 Mei 2024 kemarin. Rasanya seperti momen awal kita menemukan identitas sebagai satu bangsa, bukan sekadar kelompok suku atau daerah. Kemudian segala sesuatunya semakin terorganisir dengan landasan pendidikan dan pemikiran dalam ranah diplomasi. Hingga berkembang menjadi kekuatan utama menemukan kemerdekaan yang hilang. Dan kita bisa mengisinya dengan kehendak kita sendiri yang merdeka hingga sekarang ini.
Aku juga mengalami proses melalui momentum-momentum itu, tapi dalam perjalanan hidup di temani kereta api. Pelan tapi pasti hingga sampai pada titik tujuan. Dari kereta uap tua, kereta diesel, hingga masuk kereta era moda transportasi cepat, terjangkau, hommy, ramah lingkungan, minim polusi, Â tapi murah. Dan sejatinya itu semua adalah sebuah kenikmatan yang tak terbeli, seperti sebuah "kemerdekaan". Mengapa?
Aku bisa menyebutnya begitu karena, sebagai orang biasa bisa memiliki "kendaraan personal" (maksudku kereta api) adalah sebuah keberuntungan. Alasan sebenarnya karena aku suka membaca buku, dan membutuhkan ruang nyaman.
Dan kereta api bisa menjadi medium yang bisa memenuhi harapan itu---sebuah kebebasan dan keuntungan atas sebuah kenyamanan itu---jauh lebih berharga daripada harga tiket yang "murah" . Ukuran itu mungkin subjektif bagi orang lain---tapi tidak bagiku yang sudah menganggap Kereta Api Indonesia (KAI) dengan ragam jenis moda kereta apinya sebagai "rumah kedua", setelah rumahku.
Bertahun setelahnya ketika mengenang semua jejak perjalanan bersama KAI selagi masih berjulukan anker, selalu membawa romantisme tersendiri. Menikmati perjalanan dengan kereta api di masa kini menjadi wujud dari mengenang masa lalu. Menikmatinya seperti sebuah dejavu.
Ketika kereta menggelap saat di terowongan, dengan deru mengeras yang khas, atau suara peluit lokomotif. Hamparan sawah, sungai meliuk, gunung bertopi awan, dan hujan yang selalu menjadi kesenangan yang tiada tara ketika menikmatinya dari jendela kereta api. Aku selalu menangis mengingat itu semua, seperti mengenang masa lalu yang keras, tapi membuat aku tangguh sekarang ini.
Aku diam-diam pernah berharap anak-anak bisa merasakan kenangan yang sama. Ketika mudik di tahun-tahun terakhir ketika semakin jarang menggunakan kereta api dalam arti tak lagi menjadi anker.
Aku bercerita banyak kepada anak-anak ketika duduk berhadap-hadapan di dalam kereta. Bahwa semua kereta adalah "rumah keduaku" selama bertahun-tahun, menemani membaca dan menghadirkan kenyamanan mahal bagi seorang pelajar dan pekerja yang nge-kost di kawasan industri yang lusuh, bising dan semrawut, tapi tidak ketika aku berada dalam gerbong kereta.
Sayang kebiasaan membaca di kereta api kini tak lagi se-asyik dulu. Orang-orang dalam kenyamanan lebih memilih membaca melalui layar, layaknya menonton. Sesuatu yang tidak bisa merasakan greget seperti ketika kita membalik setiap halaman dan mendengar derak bunyi kertas bergesekan.