Sebagai orang tua, ketika memutuskan menyekolahkan anaknya tentu saja harapannya anak tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Lebih santun, lebih mandiri, dan punya karakter kuat. Maka wajar jika tak sedikit orangtua yang mencari lembaga pendidikan yang tidak hanya fokus pada prestasi akademik, tapi juga pada pembentukan karakter.Â
Salah satu alternatifnya adalah memasukkan anak ke sekolah berasrama. Atau dalam kasus ketika anak menunjukkan perilaku dan karakter tidak sesuai harapan, seperti yang saat ini masih menjadi polemik adalah memilih mengirim "anak nakal" ke barak lembaga pendidikan militer sebagai alternatif "mendidik" anak agar menjadi lebih patuh, disiplin dan mandiri.Â
Namun persoalan yang mendasar, apakah ketika anak menunjukkan perilaku yang tidak sesuai harapan, menunjukkan bahwa sekolah sebagai "rumah kedua" bagi anak-anak kita telah "gagal" menjadi institusi pendidik. Atau lebih jauh, pilihan tersebut juga menunjukkan peran besar dari orang tua yang juga "gagal" menjadi "rumah pertama" dalam membentuk karakter anaknya yang selama ini semakin kerap terlupakan?.Â
Apalagi dalam situasi ketika tekanan  eksternal membuat para orang tua semakin sibuk bekerja dan lebih sedikit memiliki waktu berinteraksi, apalagi mengontrol anak-anak mereka.
Jika kita kaji lebih mendalam, sekolah berasrama atau barak militer yang menjadi alternatif, bisa jadi dipilih karena dianggap sebagai "jalan pintas" untuk mendisiplinkan anak. Bagi sebagian orang tua, menyerahkan anak ke lembaga semacam ini sebenarnya menyiratkan dua hal, antara sebentuk harapan sekaligus keputusasaan.Â
Harapan karena anak akan mendapat bimbingan yang lebih intensif. Keputusasaan karena mungkin mereka sendiri merasa gagal mendidik anak di rumah.
Namun, ini menyisakan pertanyaan moral dan filosofis, Â apakah kita bisa "mengalihdayakan" tanggung jawab mendidik anak sepenuhnya ke lembaga formal? Jawabannya, tentu tidak sesederhana itu.
Sekolah, bahkan yang berbasis militer sekalipun, hanya bisa menjadi support system bagi proses pendidikan anak. Bukan penentu utama. Anak tetap membutuhkan pondasi karakter yang kuat dari rumah. Jika pondasi ini rapuh, maka sebaik apa pun sistem di luar rumah tidak akan banyak membantu.
Banyak orangtua mengeluhkan bahwa anak mereka tampak "baik" saat berada di sekolah maupun di sekolah berasrama, tetapi ketika kembali ke rumah, perilaku negatif muncul kembali. Ini menandakan bahwa perubahan yang terjadi di sekolah belum benar-benar internalized---belum menjadi nilai yang tumbuh dari dalam diri anak, melainkan hanya respons terhadap sistem yang menekan atau mengatur.
Tanpa kontinuitas antara pola asuh di rumah dan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah, hasil pendidikan cenderung temporer. Maka yang perlu kita sadari adalah bahwa pendidikan karakter harus berkesinambungan dan konsisten, dari rumah ke sekolah, bukan terpisah dan saling lempar tanggung jawab.