Mungkin banyak dari kita masih mengingat masa-masa ketika bersekolah, atau kuliah. Jika guru atau dosen menanyakan, “sudah paham semua? Atau “Ada yang belum jelas,” hampir sebagian besar siswa atau mahasiswa memilih diam daripada menjawab. Situasi ini sering kali membuat guru atau dosen bingung, apakah penjelasannya cukup atau memang tidak dipahami sama sekali.
Atau dalam kasus yang lain siswa berkeluh kesah tentang dirinya sendiri.
“Kenapa nilai aku turun, padahal sudah belajar semalaman?”
“Kalau gagal, bagaimana kalau orang tua kecewa?”
“Aku salah ngomong tadi di depan kelas, teman-teman pasti menertawakan aku.”
“Bagaimana penampilanku tadi, apa buruk ya?”
Tidak sedikit siswa yang mengalami masalah di atas. Salah satu alasannya karena mereka merasa tindakan atau ucapan mereka justru bisa berbalik “menyerangnya”, meskipun sebenarnya belum terbukti benar, karena semua hanya muncul dalam persepsi di kepala.
Jika masalah tersebut di hadapi oleh siswa atau anak-anak kita disekolah bisa jadi mereka sedang mengalami apa yang kini sering disebut sebagai overthinking—berpikir berlebihan secara terus-menerus sehingga bisa mengganggu konsentrasi belajar dalam kesehariannya.
Jika kita cermati meskipun terlihat biasa, tapi masalah tersebut masih selalu saja sering kita jumpai khususnya di kalangan remaja sekolah.
Apalagi jika “didukung” oleh sikap guru yang menganggap siswa yang menanyakan sesuatu yang sederhana atau yang sudah diajarkan namun sebenarnya sangat mudah, kemudian menganggap siswa tidak memperhatikan atau lebih buruk dianggap “bodoh”. Bisa melalui ungkapan verbal atau sikap yang merendahkan.
Meski istilah overthinking kerap dianggap sebagai bagian dari bahasa populer generasi muda, dampaknya pada dunia pendidikan tidak bisa dianggap remeh. Di balik wajah ceria para siswa, sering kali tersembunyi beban pikiran yang tak terlihat—yang jika dibiarkan, bisa menggerus semangat belajar hingga menciptakan masalah psikologis yang lebih dalam.
Ketika Pikiran Menjadi Beban