Miris rasanya ketika kita terus disuguhi berita kekerasan terhadap anak di sekolah, bahkan di lembaga pendidikan berbasis agama. Meskipun dilakukan oleh oknum, "getahnya" tetap dirasakan oleh anak-anak dan orang tua yang cemas akan keselamatan dan kenyamanan anak mereka di sekolah. Tempat yang seharusnya menjadi ruang aman dan ramah belajar justru kerap menyimpan kisah pilu.
Fenomena kekerasan yang terus berulang di sekolah seharusnya menjadi alarm besar bagi semua pihak. Mungkinkah ini karena solusi yang kita tawarkan belum sepadan, atau mungkin kita masih terlalu permisif, menganggap kekerasan sebagai sekadar “kenakalan remaja” biasa?
Mengapa Kekerasan Terus Berulang
Apa sebenarnya yang menjadi biang masalah ini terus berulang, apakah kenakalan remaja atau gejala sosial yang lebih dalam?. Jika kita kaitkan dengan masalah juvenile delinquency atau kenakalan remaja, istilah yang merujuk pada perilaku menyimpang atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh individu yang belum mencapai usia dewasa.
Bentuknya bisa berupa kekerasan fisik, perundungan (bullying), pencurian, bahkan kekerasan seksual. Namun seringkali, penanganannya di sekolah masih bersifat reaktif, bukan preventif—seolah-olah perilaku tersebut adalah bagian normal dari tumbuh kembang anak.
Sekolah dengan berbagai jenjang pendidikannya menyisakan banyak cerita miris tentang kekerasan tersebut. Bahkan para pelaku kekerasan juga termasuk anak-anak yang telah mengalami pengalaman dari dunia maya dan seolah mempraktekkannya di dunia nyata.
Dalam sinetron dan film remaja, kita kerap melihat potret perundungan sebagai adegan dramatis yang seolah menjadi bagian tak terelakkan dari kehidupan sekolah. Pelaku digambarkan sebagai "kelas borju", sementara korban adalah siswa dari latar belakang sederhana. Ironisnya, kenyataan di lapangan tak kalah kelam—bahkan lebih kejam—karena menyangkut kehidupan nyata anak-anak kita.
Remaja adalah peniru ulung dari apa yang mereka lihat dan dengar. Tayangan di media dan tekanan sosial ekonomi dapat membentuk pola pikir dan tindakan yang menyimpang. Tidak jarang, kasus kekerasan muncul karena terinspirasi dari memori visual yang tersimpan akibat seringnya menyaksikan kekerasan di media.
Yang lebih mengkhawatirkan, pelaku kekerasan kini bisa dengan mudah memasuki ruang-ruang paling privat korban—melalui media sosial, grup pesan instan, atau platform digital lainnya. Bullying tak lagi terjadi di lorong sekolah saja, tetapi juga di ruang virtual yang tidak terpantau.
Data yang Membuat Bergidik
Menurut laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), sepanjang tahun 2024 tercatat 573 kasus kekerasan di sekolah. Angka ini melonjak drastis jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya: 91 kasus (2020), 142 (2021), 194 (2022), dan 285 (2023). Ini menunjukkan bahwa upaya penanganan dan pencegahan kekerasan belum cukup efektif.