Sejak polemik perpisahan meruak dan menjadi perdebatan, hampir setiap hari siswa selalu sibuk bertanya-tanya meminta kepastian. Berita yang masuk ke sekolah simpang siur, jika minggu lalu masih ada harapan untuk bisa menyelenggarakan perpisahan, maka minggu ini sebaliknya justru muncul instruksi penundaan sampai waktu yang belum bisa ditentukan---bukan pelarangan.
Persoalan yang dihadapi anak-anak yang akan melakukan acara perpisahan tidak sederhana. Mereka ternyata telah menyiapkan pakaian, menyewa penata rias per kelas agar mendapat diskon. Bahkan mereka telah menyerahkan panjar untuk sewa gedung perpisahan dan telah ditentukan tanggalnya. Jika tidak ada kepastian maka uang-uang tersebut akan hangus.
Hal-hal seperti inilah yang dihadapi para siswa yang akan melaksanakan acara perpisahan.Apalagi perubahan kebijakan itu seolah terjadi di tengah jalan, bukan sejak awal sehingga menimbulkan polemik tersendiri. Termasuk juga kekecewaan para orang tua.
Sebagai guru juga meyayangkan situasi dan kondisi seperti ini. Jika memang dilarang maka Pemerintah juga harus tegas agar segera bisa diputuskan untuk lanjut dan membatalkan sewa gedung dan persiapan lainnya. Atau jika memang dibolehkan bagaimana mekanismenya. Bahkan jika memang kebijakan tegas bisa ditetapkan, maka juga harus diputuskan dengan cepat.
Perayaan yang Menuai Polemik
Belakangan ini, penyelenggaraan acara perpisahan dan wisuda di sekolah memang menjadi sorotan tajam. Mungkin ini juga terkait dengan kebijakan efisiensi di segala lini yang sedang dijalankan Pemerintah.
Kebijakan ini tentu lahir dari niat baik: melindungi orang tua siswa dari beban biaya tambahan yang bisa jadi tidak semua mampu menanggungnya. Namun, penerapannya yang mendadak dan tidak seragam di berbagai wilayah justru menimbulkan kebingungan dan ketegangan di masyarakat.
Di sejumlah daerah, pemerintah melarang sekolah memungut biaya untuk acara semacam itu, bahkan membatasi keterlibatan langsung sekolah demi mencegah pungutan berlebihan. Larangan ini muncul dengan semangat melindungi orang tua siswa dari beban finansial yang tidak semua sanggup menanggung.
Alasan itu sangat logis dan masuk akal, apalagi dalam situasi krisis belakangan ini. Hanya saja pilhan kebijakan terkait dengan perpisahan juga harus bijak dan hati-hati diputuskan.
Realitasnya, acara wisuda dan perpisahan memang kerap identik dengan pengeluaran besar. Sewa aula, biaya toga, konsumsi, hingga penyanyi tamu kadang dimasukkan ke dalam anggaran. Bagi keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah, tentu ini bisa menjadi beban. Apalagi bila sifatnya wajib dan tak ada ruang untuk memilih.
Namun di sisi lain, ada dimensi emosional yang tak bisa diabaikan begitu saja. Bagi banyak siswa, terutama yang menempuh pendidikan dasar hingga menengah di sekolah yang sama selama enam tahun atau lebih, acara perpisahan menjadi semacam ritus peralihan. Ia menandai berakhirnya masa kecil, masa belajar bersama, masa-masa penuh kenangan. Begitu juga bagi orang tua, acara ini menjadi kesempatan untuk merayakan pencapaian anak yang telah mereka dampingi sejak awal.