Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Perayaan yang Menuai Polemik, Saat Emosi Bertemu Regulasi

30 April 2025   20:39 Diperbarui: 9 Mei 2025   16:01 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
perpisahan dan wisuda-liputan6.com

Sejak polemik perpisahan meruak dan menjadi perdebatan, hampir setiap hari siswa selalu sibuk bertanya-tanya meminta kepastian. Berita yang masuk ke sekolah simpang siur, jika minggu lalu masih ada harapan untuk bisa menyelenggarakan perpisahan, maka minggu ini sebaliknya justru muncul instruksi penundaan sampai waktu yang belum bisa ditentukan---bukan pelarangan.

Persoalan yang dihadapi anak-anak yang akan melakukan acara perpisahan tidak sederhana. Mereka ternyata telah menyiapkan pakaian, menyewa penata rias per kelas agar mendapat diskon. Bahkan mereka telah menyerahkan panjar untuk sewa gedung perpisahan dan telah ditentukan tanggalnya. Jika tidak ada kepastian maka uang-uang tersebut akan hangus.

Hal-hal seperti inilah yang dihadapi para siswa yang akan melaksanakan acara perpisahan.Apalagi perubahan kebijakan itu seolah terjadi di tengah jalan, bukan sejak awal sehingga menimbulkan polemik tersendiri. Termasuk juga kekecewaan para orang tua.

Sebagai guru juga meyayangkan situasi dan kondisi seperti ini. Jika memang dilarang maka Pemerintah juga harus tegas agar segera bisa diputuskan untuk lanjut dan membatalkan sewa gedung dan persiapan lainnya. Atau jika memang dibolehkan bagaimana mekanismenya. Bahkan jika memang kebijakan tegas bisa ditetapkan, maka juga harus diputuskan dengan cepat.

perpisahan dis ekolah-tribunews.com
perpisahan dis ekolah-tribunews.com

perpisahan sekolah-genmuda.com
perpisahan sekolah-genmuda.com

Perayaan yang Menuai Polemik

Belakangan ini, penyelenggaraan acara perpisahan dan wisuda di sekolah memang menjadi sorotan tajam. Mungkin ini juga terkait dengan kebijakan efisiensi di segala lini yang sedang dijalankan Pemerintah.

Kebijakan ini tentu lahir dari niat baik: melindungi orang tua siswa dari beban biaya tambahan yang bisa jadi tidak semua mampu menanggungnya. Namun, penerapannya yang mendadak dan tidak seragam di berbagai wilayah justru menimbulkan kebingungan dan ketegangan di masyarakat.

Di sejumlah daerah, pemerintah melarang sekolah memungut biaya untuk acara semacam itu, bahkan membatasi keterlibatan langsung sekolah demi mencegah pungutan berlebihan. Larangan ini muncul dengan semangat melindungi orang tua siswa dari beban finansial yang tidak semua sanggup menanggung.

Alasan itu sangat logis dan masuk akal, apalagi dalam situasi krisis belakangan ini. Hanya saja pilhan kebijakan terkait dengan perpisahan juga harus bijak dan hati-hati diputuskan.

Realitasnya, acara wisuda dan perpisahan memang kerap identik dengan pengeluaran besar. Sewa aula, biaya toga, konsumsi, hingga penyanyi tamu kadang dimasukkan ke dalam anggaran. Bagi keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah, tentu ini bisa menjadi beban. Apalagi bila sifatnya wajib dan tak ada ruang untuk memilih.

Namun di sisi lain, ada dimensi emosional yang tak bisa diabaikan begitu saja. Bagi banyak siswa, terutama yang menempuh pendidikan dasar hingga menengah di sekolah yang sama selama enam tahun atau lebih, acara perpisahan menjadi semacam ritus peralihan. Ia menandai berakhirnya masa kecil, masa belajar bersama, masa-masa penuh kenangan. Begitu juga bagi orang tua, acara ini menjadi kesempatan untuk merayakan pencapaian anak yang telah mereka dampingi sejak awal.

perpisahan dan wisuda-liputan6.com
perpisahan dan wisuda-liputan6.com

Lantas, apakah dimensi emosional ini cukup untuk membenarkan sebuah acara yang berpotensi menjadi beban finansial? Di sinilah pentingnya hadirnya kebijakan yang adil, bijak, dan berpihak, bukan sekadar larangan kaku tanpa ruang dialog.

Persoalannya memang tidak sesederhana yang tampak di permukaan. Apalagi seperti dialog Gubernur Dedi Mulyadi dan seorang siswa dan orang tuanya di media menunjukkan bahwa wisuda dan perpisahan sekolah, bagi sebagian besar siswa dan orang tua, adalah momen emosional yang dinanti.

perpisahans ekolah-tirto id
perpisahans ekolah-tirto id

Bukan sekadar acara seremonial, tetapi penanda pencapaian dan sebuah penanda penting: fase pendidikan telah dilewati, dan perjalanan baru akan dimulai. Ada haru, ada kebanggaan, dan tentu ada kenangan yang ingin diabadikan dalam peralihan penting dalam kehidupan anak. Maka wajar jika ada harapan untuk bisa merayakannya secara khusus, bahkan jika itu berarti mengeluarkan sejumlah biaya.

Setiap akhir tahun ajaran, sekolah-sekolah di berbagai penjuru negeri biasanya disibukkan dengan persiapan acara perpisahan dan wisuda. Bagi sebagian besar siswa dan orang tua, ini bukan sekadar seremoni, tetapi

Tapi untuk saat ini alasan emosional tidak cukup kuat untuk membenarkan pengadaan acara yang bisa menjadi beban bagi sebagian keluarga. Apalagi jika acara dilaksanakan secara mewah dan dipaksakan, tentu tidak bijak. Tapi jika dilakukan dengan sukarela, sederhana, dan penuh makna---banyak pihak yang mengganggap mengapa tidak boleh?

Yang menjadi persoalan besar adalah ketika kebijakan larangan oleh Pemerintah dibuat secara mendadak, tanpa sosialisasi yang cukup. Banyak sekolah dan orang tua sudah sejak awal tahun mempersiapkan acara perpisahan ini. Bila larangan tiba-tiba diterapkan tanpa transisi yang jelas, bukan hanya agenda terganggu, tetapi rasa keadilan juga dipertanyakan.

Maka, pemerintah daerah dan dinas pendidikan sebaiknya bersikap lebih bijak. Jika tahun ini dianggap tahun terakhir penyelenggaraan wisuda atau perpisahan oleh sekolah, beri ruang agar kegiatan yang sudah dirancang sejak awal tetap bisa berjalan dengan tertib, transparan, dan tanpa paksaan. Untuk tahun-tahun mendatang, bila ada pelarangan atau perubahan mekanisme, maka perlu disosialisasikan sejak awal tahun ajaran.

Selain itu, perlu ada alternatif perayaan yang lebih inklusif dan terjangkau. Sekolah bisa memfasilitasi kegiatan sederhana seperti pentas seni, refleksi bersama, atau dokumentasi video perpisahan yang digagas bersama OSIS dan guru. Tanpa pungutan, namun tetap bermakna.

Sebagai guru, saya melihat pentingnya menjaga semangat siswa dan orang tua untuk merayakan momen kelulusan, sembari tetap menjaga keadilan sosial. Perpisahan sekolah tak harus mewah, tapi juga tak boleh dihilangkan begitu saja. Kebijakan publik mesti hadir sebagai solusi, bukan sumber kebingungan baru.

perpisahans ekolah-tirto.id
perpisahans ekolah-tirto.id

Solusi Bijak, Tahun Transisi dan Sosialisasi yang Jelas

Bila memang pemerintah daerah merasa perlu menata ulang praktik penyelenggaraan wisuda dan perpisahan di sekolah, maka kebijakan tersebut perlu disosialisasikan secara jelas dan sejak awal tahun ajaran. Jangan sampai di tengah jalan, ketika persiapan sudah berjalan, kebijakan baru turun secara mendadak. Ini tidak hanya berisiko menimbulkan kebingungan, tetapi juga merugikan secara psikologis dan material.

Idealnya, tahun ini bisa dijadikan sebagai tahun transisi. Bila memang akan ada pelarangan ke depan, beri kesempatan kepada sekolah dan orang tua untuk menyelenggarakan acara yang sudah dirancang sejak awal. Tentu tetap dengan prinsip sukarela, transparan, dan tidak berlebihan. Dengan pendekatan ini, kebijakan yang bertujuan baik tidak akan menimbulkan resistensi di lapangan.

Untuk tahun ajaran berikutnya, pemerintah daerah dan dinas pendidikan perlu menyusun panduan teknis yang jelas---apakah sekolah sama sekali tidak boleh terlibat, atau masih boleh memfasilitasi dalam bentuk nonkomersial. Panduan ini juga sebaiknya disosialisasikan sejak awal tahun ajaran agar tidak terjadi kebingungan.

Perayaan memang tidak selalu harus mahal. Justru di sinilah kreativitas dan semangat gotong royong bisa hadir. Sekolah bisa bekerja sama dengan OSIS dan komite sekolah untuk menyelenggarakan acara perpisahan sederhana: pentas seni, refleksi bersama, pemutaran video perjalanan kelas, atau doa bersama sebagai penutup masa belajar. Semua itu bisa dilakukan tanpa biaya besar, dan tetap memberi kesan mendalam.

Toga tak harus disewa dari penyedia jasa profesional. Bisa dibuat dari kain sederhana, atau bahkan disimbolkan dengan atribut buatan siswa sendiri. Aula sekolah bisa menjadi tempat yang hangat dan akrab. Dokumentasi bisa dilakukan oleh guru atau siswa yang memiliki keterampilan fotografi. Tidak ada yang kurang, justru bisa terasa lebih personal.

Kuncinya adalah keterbukaan, partisipasi, dan kesadaran bahwa momen ini adalah milik bersama. Bukan ajang pamer, tapi ajang syukur.

Sebagai guru, kami berada di tengah-tengah antara kebijakan pemerintah dan harapan orang tua serta siswa. Dalam posisi ini, kami harus mampu menjadi penyeimbang. Di satu sisi, kami harus mendukung kebijakan yang meringankan beban masyarakat. Namun di sisi lain, kami juga harus menjaga semangat dan perasaan siswa agar tidak merasa kehilangan momen penting dalam hidup mereka.

Kami percaya bahwa acara perpisahan tetap bisa diadakan tanpa harus melanggar aturan atau memberatkan orang tua. Asalkan dilakukan dengan semangat sukarela, sederhana, dan penuh kesadaran sosial. Yang terpenting, jangan sampai niat baik untuk menata menjadi alat untuk meniadakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun