Gara-gara membaca komen sahabat kompasianer Bapak Suko Waspodo, untuk Mas Agus Sutisna, yang bunyinya "Silence No More, Writing Forever", saya jadi tergugah menulis lagi tentang kompasianer dan inspirasi tahun 2023, jadi semacam resolusi bersama.
Di tahun ini pencapaian para kompasianer memang luar biasa, dan kita (masing-masing) harus mengapresiasi diri sendiri karena menjadi bagian dari pencapaian besar itu.
Bayangkan saja, dengan tambahan 957.961 (39%) kompasianer baru , dan 381.297 (36%) konten baru yang tayang selama setahun adalah sebuah prestasi yang membanggakan dalam impian kita membangun budaya literasi (menulis dan tentu saja membaca) yang lebih baik.
Kini kita memiliki total sahabat kompasianer sebanyak 4.718.154 dengan total artikel tayang 2.884.564, didukung 0leh 154 komunitas yang menghimpun ribuan orang dalam minat yang sama didalamnya.
Ini adalah upaya kita yang proaktif dalam mendukung impian kita melejitkan budaya literasi, meskipun disisi lain masih ada tantangan, ditengah lautan informasi yang terus bergerak dinamis.
Kita dalam Lautan Informasi
Kita masih harus merasa prihatin, pasalnya negara kita masih berada diposisi sebagai negara dengan pembaca buku yang minim. UNESCO menyebut bahwa Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah.Â
Minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca!
Berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2018, Indonesia menempati peringkat ke 71 dari 77 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.
PISA adalah studi untuk mengevaluasi sistem pendidikan yang diikuti oleh lebih dari 70 negara di seluruh dunia. Setiap 3 tahun, murid-murid berusia 15 tahun dari sekolah-sekolah yang dipilih secara acak, menempuh tes dalam mata pelajaran utama yaitu membaca, matematika dan sains.
Riset yang dirilis World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, juga menyebut bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.
Ternyata 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, atau urutan kelima dunia terbanyak kepemilikan gadget. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang.Â
Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Ironisnya, meski minat baca buku rendah tapi data wearesocial per Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tidak heran dalam hal kecerewetan di media sosial orang Indonesia berada di urutan ke 5 dunia.
Kini ada peningkatan yang menarik, sebagaimana data survei Perpusnas tentang tingkat kegemaran membaca di Indonesia terhadap 11.158 reponden yang tersebar di 102 kabupaten-kota.
Hasilnya, tingkat Kegemaran Membaca Masyarakat Indonesia tahun 2022 sebesar 63,90 (tinggi) Â mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2021 sebesar 59,52 (sedang), tahun 2020 sebesar 55,74 (sedang), tahun 2019 sebesar 53.48 (sedang), tahun 2018 sebesar 52,92 (sedang), dan tahun 2017 sebesar 36,48 (rendah).
Berikutnya , ada tantangan yang tidak kalah penting dicermati, yaitu tantangan disrupsi teknologi yang bergerak seperti deret hitung (1,2,4,8,16 dan seterusnya), sedangkan kebiasaan kita membaca masih seperti deret hitung (1,2,3,4,5 dan seterusnya).
Kita dipengaruhi oleh godaan clip thinking yang membuat kita menjadi "pembaca online" yang up date, tapi menjadi "penguasa ilmu yang dangkal". Maksudnya bukan bodoh, tapi memiliki ketergantungan tinggi pada teknologi.
Di sekolah saya, jika siswa ditanya isu terbaru, bukan hanya satu yang disebut, bahkan 5 trend berita terkini bisa disebut (judul dan ringkasannya), tapi jika diajak diskusi lebih lanjut, mohon maaf, mereka angkat tangan.
Alasannya klise, "tahu sih bu, tapi harus lihat lagi detilnya di gadget". Mereka ketahuan jika membaca hanya seperti "capung minum", terbang secepat kilat begitu selesai menyentuh permukaan air.
Mereka tahu informasi, tapi tak mendalami. Ini adalah problem baru yang dialami banyak orang dalam disrupsi teknologi yang sangat cepat, sehingga jutaan informasi hanya akan dipilih oleh scrol jari dan mungkin hanya karena ilustrasi yang menarik.
Selebihnya akan menjadi "buih informasi" yang akan kembali ke "lautan informasi" dan digantikan oleh "buih informasi" lainnya yang menyusul dengan cepat persis seperti ombak dilaut yang tak pernah berhenti dan susul menyusul dengan informasi besar dan kecilnya.
Dalam situasi dan kondisi demikian, satu-satunya hal yang bisa mengerem agar clip thinking tak berlanjut adalah fokus kita terhadap sesuatu.
Saya baru menyadari bahwa dalam dunia yang bergerak cepat, yang bisa mengambil manfaat adalah, yang fokus, bisa memanfaatkan teknologi dan bisa membangun jaringan. Tiga hal itu menjadi sebuah kunci kita agar tak tertinggal dan tergilas informasi yang menggila.
Ketika kita fokus--misalnya ingin menulis sesuai tema bulan ini tentang -lyfe- akan membantu kita untuk berusaha mencari hal-hal yang berkaitan dengan lyfe. Bukan mengabaikan yang lain semisal politik yang bikin pusing.Â
Tapi fokus itu membantu kita mengerem scroll jari-jari kita pada isu-isu terkait lyfe sebagai prioritas dan isu lain sebagai "penggembira".
Kita bahkan bisa mengaplikasikan fokus ini ketika sedang bekerja, tak lagi membiarkan waktu terbuang percuma, mengisinya dengan menulis.
Menulis membuat kita bisa eksis, "Jika kamu bukan raja atau anak raja, menulislah agar kamu dikenal", begitu kata orang bijak.
Bayangkan seandainya Andre Hirata tak menulis "Laskar Pelangi atau The Raibow Troops" (2005), mungkin tak akan mengenalnya.
Kini kita bahkan bisa mengenal kisah kehidupan 10 anak dari keluarga miskin yang bersekolah (SD dan SMP) di sebuah sekolah Muhammadiyah di Belitung yang penuh dengan keterbatasan yang konon berdasarkan dilhami oleh kisah nyata.
Kita bahkan bisa mengenal para tokohnya, Ikal, A Kiong, Trapani, Syahdan, Lintang, Sahara, Mahar, Kucai, Harun, Borek.
Bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun mendatang akan hadir penulis-penulis baru para kompasianer yang bukunya bisa kita temukan di toko buku bergengsi. Tentu saja jika tetap konsisten menjalankan "mantra", "Silence No More, Writing Forever".
"Menulislah, karena dengan menulis kita ada!"
referensi bacaan: kilas balik, laskar pelangi, kominfo, kompas.com, indonesia baik, goodstate, bbsumut
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI