Mohon tunggu...
Rini DST
Rini DST Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga - Seorang ibu, bahkan nini, yang masih ingin menulis.

Pernah menulis di halaman Muda, harian Kompas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengapa Masih Terkenang Era Kolonial?

20 Agustus 2022   20:31 Diperbarui: 25 Agustus 2022   12:23 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: MaxPixel

Kebun tebu yang hijau berkilau, menghadirkan kesejukan pada mata yang memandang. Ghina terkenang ayah dan ibunya, saat mereka hidup di lingkungan pabrik Gula (PG)  yang sangat menyenangkan. Kehidupan peninggalan era kolonial. Bagi yang berada di dalam lingkaran, terasa sangat mewah . Bagi yang berada di luar lingkaran, pastilah merasa tertindas. Adanya rakyat yang tertindas itulah yang membuat adanya wujud Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada 17-08-1945. Hingga kini terbentuklah Negara Kesatuan RI (NKRI).

Pada tahun 1830 di Indonesia Gubernur Jenderal  Johannes van den Bosch mengeluarkan peraturan Cultuustelsel, yang dikenal dengan Sistem Tanam Paksa. Sebuah peraturan di mana rakyat yang punya tanah harus meminjamkan tanahnya seluas 20% kepada pemerintah kolonial untuk ditanami dengan tanaman yang menguntungkan bagi pemerintah Belanda. 

Hasil penanaman itu untuk kepentingn pemerintah Belanda, sisanya barulah diserahkan kepada rakyat yang memiliki tanah tersebut melalui lurah. Sedangkan rakyat yang tidak mempunyai tanah, harus bekerja mengolah tanah untuk pemerintah Belanda tanpa upah sebanyak 20% dari banyaknya hari dalam setahun (sekitar 75 hari). 

Dengan adanya Sistem Tanam Paksa ini, banyak petani yang sengsara. Mereka kelaparan dan banyak korban yang meninggal dunia. Tentunya bagi petani yang tidak mempunyai tanah. Bekerja tanpa upah selama 75 hari, bagaikan melakukan kerja rodi.

Hingga pada tahun 1870, pemerintah Belanda merubah peraturan Sistem Tanam Paksa ini dengan Undang-undang (UU) Gula. UU Gula ini bermaksud menghentikan adanya penanaman 20% dari lahan rakyat oleh pemerintah Belanda. Bersamaan dangan adanya UU Gula ada pula UU Agraria yang cara pengaturannya hampir sama. 

Rakyat mengolah sendiri tanahnya, hanya saja pemerintah Belanda mendatangkan investor dari negara-negara Eropa untuk membantu rakyat mengolah tanaman di tanah mereka. 

Dalam hal gula, PG yang ada di Indonesia mengolah tebu hasil tanaman rakyat menjadi ekstrak gula mentah dan mengirimkannya ke Belanda untuk  proses pemurnian. UU Gula menguntungkan bagi pemerintah Belanda melalui PG dan investor, tetapi tetap membuat rakyat yang merupakan petani tidak bisa lepas dari belitan kemiskinan. 

Kini Indonesia telah merdeka selama 77 tahun. Indonesia memperoleh kemerdekaannya 77 tahun yang lalu bukanlah melalui pemberian belaka, tetapi dengan berbagai cara yang memerlukan perjuangan--persatuan--pendidikan.

  • Pertempuran kaum pehlawan. 

  • Persatuan kaum pemuda.

  • Gerakan kaum berpendidikan.

Sekarang pada HUT 77 RI, sudahkah petani bahagia? Seperti 77 tahun yang lalu, petani  memperoleh kebahagiaan dengan perjuangan--persatuan--pendidikan.

Petani harus menunjukkan kemampuan mengolah tanahnya. Tidak terburu-buru mau menjual tanah warisan leluhur, walaupun dengan iming-iming harga yang mahal. 

Jika memang tanahnya diperlukan untuk infrastruktur proyek pemerintah Indonesia, petani harus membelikan lagi sebidang tanah di tempat lain, yang masih merupakan lahan pertanian. Harus terus berjuang dan berjuang memelihara passion bertani yang merupakan warisan nenek moyang.

Persatuan dengan pihak pemerintah,  agar tidak terlalu mudah mendatangkan investor. Hal ini akan membuat rakyat tetap sebagai pekerja seperti pada era kolonial. Hasilnya juga nantinya seperti pada era kolonial, pemerintah Indonesia dan investor  yang beruntung dan rakyat tetap miskin seperti petani pada era kolonial.

Indonesia memperoleh kemerdekaan juga dari gerakan para terdidik.  Mereka adalah Dr. (H.C.) Ir. H. Soekarno; Dr. (H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta  dr. Wahidin Soedirohusodo; Ki Hadjar Dewantara; dr. Sutomo dan masih banyak lagi. Hanya melalui pendidikan rakyat akan merdeka dari kolonial pada era sekarang.

Ghina melamun sendiri, mengenang ayah dan ibunya yang telah lama tiada.

Ghina bersyukur sempat dibesarkan oleh ayah dan ibunya di lingkungan PG. 

Ghina merasakan perjuangan setiap hari. Kehidupan di PG yang letaknya di desa, jauh dari kota membuat dalam mencari setitik kebahagiaan harus melalui perjuangan.Setiap hari ke sekolah dengan bus sekolah, sepulangnya harus di rumah tidak bisa seenaknya berjalan-jalan ke kota. Dalam seminggu hanya ada 2x bus rekreasi ke kota, itupun Dianti harus pergi bersama ayah dan ibunya. 

Ghina merasakan persatuan dengan keluarga, dan teman-teman di PG. Selepas dari sekolah dengan mereka, Dianti bercengkerama dan bertukar pikiran. Memang sudah sangat enak bisa masuk dalam lingkaran PG, ada lapangan tenis, kolam renang, ruang ping-pong. Kalau berbakat main musik juga ada grup band.

Ghina juga menikmati pendidikan. Lingkungannya membuat dia merasakan harus mengejar pendidikan setinggi-tingginya. 

Hanya saja, sekarang Ghina sedang bersedih.

Apakah negerinya harus mengalami seperti pada era kolonial, yang ada Sistem Tanam Paksa? Mengapa pemerintah Indonesia yang telah merdeka membiarkan petani menangis? Ghina membaca berita, untuk membuat harga gula terjangkau, pemerintah melakukan impor gula. Sedangkan dengan melakukan impor gula petani tebu semakin menangis menjerit. Sudah selama 6 tahun tak ada perbaikan hidup bagi petani tebu.

Referensi

Bumi Matkita,

Bandung, 20/08/2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun