"Aku belum tahu sampai kapan, Bi. Kenapa Bibi tanya seperti itu?" Aku balik bertanya.
Bibi menggeleng, lalu tersenyum.
"Bibi bosan, ya? Bibi boleh, kok---"
"Tidak, Non," potong Bi Min. "Bibi malah senang Non Nayya sering kemari atau mungkin pindah ke sini sekalian."
Aku tersenyum. "Rumah ini banyak kenangannya, Bi."
Mataku mengamati detail ruang tengah, menyapu setiap bagiannya. Dinding yang penuh foto-foto, vas bunga di meja sudut, ada juga lukisan pada dinding di sisi yang lain.
Aku menatap lemari tua---menurut Papa milik Nenek Buyut---yang masih dipertahankan Papa. Dipertahankan dalam arti tidak dijual seperti semua aset di rumah warisan nenek. Lemari kayu berbahan jati dengan ornamen ukiran di bagian atasnya, rak-rak di tengah, dan laci-laci di bagian bawah. Lemari itu sekarang berada di sudut kanan ruang tengah. Aku ingat, lemari itu adalah tempat Papa mengumpulkan kertas-kertas hasil gambarku, tulisanku waktu sekolah dasar dulu, dan tentang apa saja. Ah, ya, aku ingat ada buku tulis yang isinya puisi-puisi sederhana buatanku.
Tidak berubah. Bahkan interiornya tidak ada yang bergeser sedikit pun. Menurut almarhum Papa, interior sengaja dipertahankan supaya kenangan juga lekat di sana.
Rumah dengan halaman yang luas dikelilingi pepohonan berbagai macam buah. Rumah dengan arsitektur lama. Memiliki jendela-jendela besar yang mampu menampung jutaan kubik angin dan memelihara kesejukan sepanjang hari.
"Bibi kerja sama Papa waktu aku sekolah TK kan, ya, Bi?"
Bibi mengangguk. Tanpa diminta, perempuan ayu itu menceritakan tugasnya setiap hari selain menemaniku sekolah. Umumnya anak kecil yang bersekolah TK, di awal masuk sekolah jarang yang langsung mau ditinggal. Pasti ada drama yang menyertai setiap hari. Tangisan yang tiba-tiba pecah ketika menyadari ayah atau ibu mereka tiba-tiba pergi meninggalkannya. Tak jarang Ayah atau Ibu, atau para pengantar siapa pun itu, terpaksa menunggui hingga sekolah berakhir.