Bagian 7
Azan Zuhur menggema membuyarkan lamunanku. Rasanya sedari tadi aku duduk di kursi taman dengan novel di pangkuanku tanpa jadi membacanya. Ya, itu karena aku melamun sejak tadi.
Setelah pekerjaan rumah selesai, di hari Minggu seperti ini aku memilih menyantap novel inspiratif yang baru kubeli. Sudah seminggu bekum selesai. Padahal biasanya tiga hari saja sebuah novel habis aku kunyah isinya.
Semua itu karena tiba-tiba pengacara Nenek minta kami semua berkumpul tiga hari lalu. Apalagi jalau bukan membacakan wasiat Nenek---yang minta dibaca di tanggal 12 Desember.
Entah apa pertimbangan Nenek sehingga berpesan kepada pengacaranya untuk membacakan wasiatnya di tanggal itu. Aku pernah ingin bertanya dengan Bibi, tapi urung kulakukan. Bibi terlihat murung setelah pertemuan kemarin.
Sebelum waktu salat habis, aku bergegas meninggalkan kursi taman yang sudah mulai memanas karena sorotan mentari siang.
Di ruang tengah aku sempat melirik foto besar Nenek. Wajah berkarisma dan penyayang itu hanya sebentar aku rasakan.
Aku pernah mengira Nenek membenci Ibu juga Bapak. Mengabaikan mereka bertahun-tahun. Nyaris menutup pintu maafnya. Ternyata aku salah. Nenek sangat menyayangi Ibu. Dan aku berada di sini, pertanda Nenek peduli dengan Ibu.
"Kowe neng kene wae. Ngancani bibimu."[4]
Seperti kalimat yang tak membutuhkan jawaban apalagi alasan untuk menolaknya. Aku mematuhinya sampai Nenek menghembuskan napasnya dengan jarinya memegang erat tanganku.
Airmolek, Â 16.12.2018
Catatan:
[4] kamu di sini saja. Menemani bibimu.