Bagian 5
"Dek ..." panggilan itu lirih di telingaku.
Mbak Dini mendekatiku dan duduk sejajar. Aku terkesiap dan memperbaiki posisi duduk.
"M---Mbak Dini ... kapan sampai?" tanyaku gugup.
"Mbak ke sini lagi disuruh ... Ibu."
Sudah kuduga, pasti Ibu yang minta Mbak Dini datang lagi. Pasti Ibu minta $Mbak Dini membujuk aku untuk mau pulang ke rumah Ibu.
"Iya, Â Mbak. Anin tahu."
"Kalau sudah tahu, kenapa kamu masih duduk di sini? Cepat kemasi bajumu. Kita pulang!" Suara Mbak Dini sedikit meninggi. Aku merasa Kakak perempuanku ini sudah mulai kesal.
Aku menunduk memainkan kedua jempol. Dan terus seperti itu hingga Mbak Dini berdiri dengan suara keras.
"Kanu memang keras kepala, Nin. Kamu sama sekali gak peduli dengan Ibu. Mau kamu apa sebenarnya."
Aku tetap menunduk. Pelupuk mataku mulai dipenuhi cairan bening.
"Kowe ra mesakke Ibu saben wayah nakokke kowe? Ngenteni kowe nek meh magrib? Pikiranmu ki neng endi, Nin?"[1]
Aku tak sanggup menahan air mata ini untuk tetap berada di pelupuk mataku. Kubiarkan cairan itu meninggalkan mataku bersama kegetiran yang menoreh hatiku.