Arunika
Tanganku masih terikat. Semalaman terikat seperti ini membuat seluruh badanku terasa sakit. Kepalaku mulai berat. Mataku sembab karena menangis sejak kemarin. Bahkan aku belum tidur sama sekali.
Aku mulai kelelahan. Pria itu bukan hanya kejam tapi juga biadab. Aku dan Galih bahkan tak diberinya kesempatan untuk minum. Kepalaku sudah sulit ditegakkan. Genggaman Galuh sudah tak mampu memberiku kekuatan. Aku pingsan.
Anganku melayang sebelum benar-benar kesadaranku lenyap. Aku seperti berada di tepi pantai. Kamu dan aku duduk berdampingan di atas batuan. Aku duduk memeluk kedua lutut, menahan dinginnya malam. Sementara kamu, duduk dan menatap horison tanpa berkedip. Kedua tanganmu dimasukkan ke dalam saku jaket.
Embusan angin malam yang menerpa kami berdua menerbangkan ujung hijabku. Juga anganku bersama kamu.
"Untuk apa kamu mengajakku ke sini?" tanyaku.
"Aku ingin merayakan perpisahan kita."
"Perpisahan ... ya, perpisahan." Ada yang terasa mengiris dada kiriku.
Aku seharusnya tidak perlu mengikuti keinginannya. Ini hanya akan membuatku terluka. Sementara, kamu bahkan tak merasa bersalah.
"Lihat langit itu ... bintang bertebaran. Indah, Ra."
Aku ikut menatap langit. Benar saja langit penuh bintang. Seperti katamu, indah sekali. Dan beberapa jam lagi akan muncul Arunika. Surya akan mengganti malam.