Soeharto tumbang setelah 32 tahun berkuasa. Warga menumbangkannya dengan satu teriakan yang solid yaitu Reformasi! Reformasi merupakan narasi yang dilontarkan warga untuk menegaskan bahwa Indonesia telah meninggalkan era fasisme yang otoriter masuk ke era demokrasi.
Masuknya negara ini ke era demokrasi ditandai dengan adanya euforia kebebasan, terselenggaranya pemilu yang demokratis, berdirinya institusi - institusi demokrasi, adanya pembagian kekuasaan eksekutif , legislatif, dan yudikatif, sampai terselenggaranya otonomi daerah.Â
Namun yang menjadi aneh adalah walaupun bangsa ini telah melakukan serangkaian perubahan demi perubahan. Tetap saja negara ini gagal menciptakan kultur warga yang demokratis. Bahkan, ada banyak analis yang mengatakan negara ini sebagai negara dengan demokrasi cacat (flawed democracy). Negara dengan demokrasi cacat memang terlihat seperti sebuah institusi politik yang menjalankan demokrasi.Â
Tetapi yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Negara dengan demokrasi cacat memiliki sejumlah masalah fundamental seperti rendahnya kebebasan pers, rendahnya partisipasi politik warga, budaya politik yang anti-kritik,serta kinerja pemerintah yang jauh dari kata optimal.Â
Melalui uraian sebelumnya jelas terlihat bahwa Indonesia tidak pernah menyelenggarakan demokrasi yang sejati. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi simbolik belaka, sebab hal - hal yang esensial di dalam demokrasi belum diselenggarakan oleh negara ini.Bahkan bisa dikatakan bahwa demokrasi yang diselenggarakan Indonesia selama ini adalah "pseudo demokrasi."Â
Pseudo Demokrasi dan Politik
Berlangsungnya "pseudo demokrasi" di Indonesia adalah persoalan hilir. Sedangkan, hulu dari persoalan ini adalah kesalahan cara pandang sebagian besar warga terhadap konsep demokrasi, hancurnya makna politik serta tidak terselenggaranya pendidikan politik untuk warga.
Kita sebagai sesama warga cenderung melupakan bahwa selama rezim orde baru warga telah mengalami proses depolitisasi. Depolitisasi adalah sebuah proses penghilangan kesadaran politik dan keterlibatan warga di dalam negara. Warga dibuat atau bahkan dipaksa untuk selalu patuh terhadap pemerintah. Keadaan seperti ini berlangsung cukup lama, sampai - sampai warga kehilangan kepercayaan dirinya sebagai warga. Dan, menganggap dirinya hanya kaula dari pemerintah.Â
Lalu, ketika memasuki masa reformasi, demokrasi di huni oleh para "demagog politik." Partai politik yang seharusnya menjalankan fungsinya sebagai alat untuk menyelenggarakan pendidikan politik berubah menjadi perusahaan yang hanya berorientasi kepada keuntungan semata. Melalui hal ini saja kita tidak perlu heran melihat kualitas politisi saat ini.Â
Deretan hal yang diuraikan sebelumnya yang membuat sikap "apolitis - hedonistik" warga menjadi paripurna. Sikap ini adalah sebuah sikap yang muncul karena rasa kecewa yang berulang - ulang kepada para politisi yang diberi mandat sebagai stakeholder. Kekecewaan itu yang kemudian membuat warga memutuskan untuk tidak peduli terhadap politik dan hanya peduli kepada kesenangan diri sendiri. Sialnya, sikap ini pula yang dimanfaatkan oleh para "demagog politik" untuk mendapatkan kekuasaan.Â
Begitulah realitas sosial - politik warga di negara ini sejak orde baru sampai reformasi tiba. Kekacauan realitas yang kemudian semakin diperparah dengan salah kaprah sebagian besar warga terhadap konsep demokrasi.Â