Mohon tunggu...
Kurniasih
Kurniasih Mohon Tunggu... Administrasi - pengajar dan penulis

Rinai Kinasih adalah Kurniasih. Menulis adalah untuk berbahagia. Tak lupa juga untuk mencintai pepohonan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surgamu Ada di Sini

18 Februari 2017   21:42 Diperbarui: 21 Februari 2017   14:29 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bau-bauan ini membingungkanku. Haruskah aku berbahagia, bersorak gembira, melonjak-lonjak seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan yang diinginkannya, ataukah aku harus ambruk, menjerit, menangis, melukai ragaku sendiri? Segala macam bau-bauan yang menyengat ada di sini. Hidungku tersendat-sendat menahan bersin. Jangan sampai pula aku tertawa berlebihan, apalagi menangis tak karuan. Semua yang ada di ragaku ditahan untuk tidak keluar batas.

Segalanya tengah dishut, direkam kamera sebagai kenang-kenangan abadi, untuk anak dan cucuku kalau nanti mereka ada. Di tengah kerumunan orang-orang dikenal dan tak dikenal, terutama bau-bauan inilah yang sangat mengganggu. Sekalinya ada cairan yang keluar dari hidung ataupun mata maka aku akan mengalami kegilaan, mengeluarkan airmata tak henti-hentinya.

Hampir setiap adegan telah diskenariokan. Hanya memandang wajahnyalah aku merasa tak perlu merekayasa. Dinikahi olehnya adalah seperti sebuah kemustahilan. Semula aku pikir dia tak akan pernah benar-benar jadi milikku. Tetapi apakah dia memang jadi milikku? Dalam banyak hal, manusia sepertinya serakah. Kita ingin memiliki sumber air padahal membeli air satu galon saja sudah cukup. Mungkin saja aku tak perlu menikah dengannya. Tapi bila aku terlihat bimbang dan sedih maka orang-orang akan berbisik curiga, bertanya di dalam hati, “Apakah dia bahagia?” Jadi, ragaku tak boleh sembarangan bergerak, hanya sesuai dengan yang diperlukan saja. Tetapi bau-bauan ini nyaris membuatku tercekik.

Sepuluh menit sekali kepalaku terasa pening. Kali ini yang terciun adalah bau melati yang menusuk. Sang perias dengan antusias memasangkan ratusan butir melati yang telah dianyam itu pada kepalaku, memanjang hingga ke dada. Melati segar, setengah merekah, sedang barbau itu menumpuk di kepalaku. Kalung-kalung melati pun disandangkan di leherku, menambah pekat bau yang dihadirkannya. 

Make up yang digoreskan di wajahku pun sepertinya beraroma bunga-bungaan, sejenis melati, atau yang lainnya, kemudian beradu, bersekongkol dengan bau melati yang ratusan jumlahnya. Bau-bauan itu belum sempurna karena setelah selesai wajahku disulap menjadi setengah boneka, parfum beraroma melati pun menggempurku. “Ini rasakanlah bau-bauan yang disukai jutaan perempuan itu.” Tetapi hidungku setengah gila menahan agar tak berontak terhadap bau-bauan ini. “Tersenyumlah!” aku merutuk di dalam hati ketika untuk terakhir kalinya aku diijinkan memandangi wajahku, ragaku, di dalam cermin, sebelum aku berangkat menuju kerumunan orang-orang.

“Dibayar kontan.” Hanya kalimat itulah yang betul-betul kusadari. Siksaan bau-bauan ini sepertinya adalah hukuman bagiku yang “dibayar kontan”.  Ketika aku berdiri untuk bersalaman dengan orang-orang itu, aku setengah limbung. Suamiku yang baru syah beberapa menit yang lalu itu menyergap lenganku. “Hati-hati, Jeng.” Lalu semua yang hadir berdiri untuk memberikan ucapan kepadaku dan laki-laki itu. Semenit pun aku tak punya waktu untuk berbisik ke telinga suamiku itu. 

“Benarkah kau betul-betul jadi milikku? Kau jadi suamiku?” Tetapi pertanyaan itu tak pernah bisa terucapkan. Semua orang hadir membawa senyum dan doa. Sedangkan aku menahan pening dan bau-bauan yang menusuk-nusuk hidungku. Suamiku seperti aktor yang hendak diboyong ke perhelatan. Tiba-tiba dia semakin sukar dijangkau. Sehelai tisue yang telambat diberikan kepadaku menolongku mengurangi bau yang menjalar semakin membuatku pening.

II

Sekantong melati masih dibawanya ke dalam kamar bilik ini. “Untuk apa kau bawa melati lagi sih?” pertanyaanku membuat suamiku terdiam lalu balik bertanya, “Lho, Jeng, bukannya senang wangi melati?” suamiku itu tampaknya berusaha ingin membuatku senang. Tetapi seperti biasa, seperti ketika masa pacaran dulu, dia menyangka apa yang dipikirkannya akan selalu kusetujui. “Kita sangat mirip kan Jeng.” Kalimat itulah yang membuat suaminya seakan serba tahu apa yang diinginkan dan dipikirkan Ajeng. 

Melati yang sedang segar-segarnya itu dibawanya dengan menggunakan kantong kecil dari kain berwarna emas. “Ini nanti aku taburkan di tempat tidur kita. Kan pelayan hotel di sini tidak memberikan servis menaburkan bunga di tempat tidur, meskipun kita sedang berbulan madu.” Ya bunga melati itu cukuplah untuk menghiasi tempat tidur yang rapi, putih, bersih itu. Suamiku itu lalu menaburkan melati ke seluruh tempat tidur. “Nah, cocokkan, kamar ala tradisional ini dilengkapi bunga melati. 

Kamu senang ga, Jeng?” Aku menggaruk hidungku yang dengan menggemaskan diganggu oleh tendangan-tendangan kecil dari bau bunga melati. “Ah terserah kamulah, sudah tanggung dibawa, apalagi sudah disebarkan di atas tempat tidur ini.” Ketika hendak menaburkan melati itu pun suaminya tak meminta persetujuannya terlebih dahulu. Sehingga, Ajeng kadang berpikir bahwa suaminya melakukan itu semua hanya demi kesenangannya sendiri. Tak ada yang mirip indetik di dunia ini, demikian Ajeng mengingat kepercayaan suaminya akan diri mereka masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun