Mohon tunggu...
Kurniasih
Kurniasih Mohon Tunggu... Administrasi - pengajar dan penulis

Rinai Kinasih adalah Kurniasih. Menulis adalah untuk berbahagia. Tak lupa juga untuk mencintai pepohonan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekadar Bicara atau Mengalami Spiritualitas?

4 Maret 2017   19:48 Diperbarui: 8 Agustus 2017   14:59 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

I

Eliza memenangi perlombaan mengeja (spelling) mulai dari tingkat distrik sampai menjelang tingkat nasional. Perlombaan mengeja adalah salah satu tradisi masyarakat Amerika. Para peserta lomba diharuskan mengeja dengan tepat kata-kata yang diberikan oleh para juri. Perlombaan dilakukan secara rolling.Pemenangnya adalah yang mampu bertahan mengeja sampai akhir tanpa melakukan kesalahan. Eliza tampak selalu menikmati ketika ia harus mengeja kata-kata yang diberikan oleh para juri. 

Matanya tertutup kemudian di dalam imajinasinya, kata-kata yang semula berupa bunyi tersebut mewujud menjadi huruf-huruf yang bergerak, menari di sekitar kepalanya, dan bahkan bersuara. Sehingga Eliza tidak pernah menemui kesulitan ketika ia harus mengeja. Huruf-huruf yang menyusun kata yang sedang diejanya selalu membimbingnya agar bisa mengeja dengan tepat. Eliza mampu masuk kedalam kehidupankata-kata yang sedang ia eja.

Pada saat perlombaan tingkat nasional sedang dijalaninya, Eliza mengingat ucapan ayahnya bahwa huruf dan kata yang ada di dunia ini menyimpan atau memegang rahasia alam semesta. Di dalam bentuk dan bunyinya ia bisa melihat sesuatu di balik diri; sesuatu yang agung. Ayahnya pun berucap bahwa Eliza bisa berbicara kepada Tuhan dan sebaliknya, Tuhan berbicara kepadanya.

Ayahnya, Saul, adalah seorang profesor Kajian Agama-Agama (Religious Studies professor). Salah satu yang diajarkannya yaitu Tikkun Olam, pemahaman bahwa di dalam alam semesta ini, segala sesuatu yang rusak bisa kembali diperbaiki. Saul menjelaskan sebagai berikut: “Jadi, sebuah paradoks. Tuhan adalah segalanya, intisari yang sempurna, bercahaya. Tapi bahkan Tuhan ingin lebih untuk merasakan lebih, memberi. Maka Tuhan menciptakan sebuah kapal, sebuah kontainer yang bisa menerima hadiah dari cahaya murni Tuhan. Cahaya indahnya tersebut dicurahkan kepada kapal. Kapal itu, tentunya tidak bisa memuat ukuran dari cahaya ini, dan hancur. Cahaya itu menghancurkan kapal, dan menghamburkannya menjadi bagian kecil dalam ledakan besar (big bang) penciptaan. 

Sekarang tugas manusia adalah mencari dan mengumpulkan pecahan ini dan membuat kapal dunia kita ini utuh kembali. Orang Kabalis menyebut ini, perbaikan ini, sebagai Tikkun Olam (Memperbaiki Dunia). Kini, perbuatan baik apa pun, mementingkan orang lain, merupakan kebaikan yang dianggap sebagai Tikkun Olam. Ide yang luar biasa…bahwa kita bisa memperbaiki apa yang sudah hancur. Dalam kenyataannya, ini merupakan tanggung jawab setiap manusia untuk mencoba memperbaiki kembali (Tikkun Olam). Di luar setiap bagian yang hancur tersebut Tuhan memberikan harapan.“ Berharap dan berbicara kepada Tuhan adalah kunci terbaik untuk melakukan Tikkun Olam.

Saul pun sedang terlibat kedalam sebuah riset disertasi mengenai cara untuk berbicara kepada Tuhan, sesuai dengan agama yang ia percayai, yaitu Yahudi. Saul menjelaskan kepada Eliza bahwa untuk berbicara kepada Tuhan bisa digunakan metode Kaballah, mistisisme Yahudi. Mistikusnya adalah Abraham Abulafia. Kemampuan Eliza dalam mengeja, merupakan salah satu daya tarik bagi Saul untuk memperkenalkan dan mempercobakan metode mistisisme yang sedang ditelitinya. 

Eliza yang masih berusia 11 tahun ternyata antusias dengan tawaran Saul. Di dalam sebuah ruangan tertutup Eliza mengikuti metode yang dikemukakan oleh Abulafia, yaitu dengan berkonsentrasi pada kata atau huruf agar bisa membuka pikiran untuk mencapai shefa atau jalan untuk dekat kepada Tuhan. Tradisi tersebut bisa dikomparasikan kedalam ritual-ritual agama seperti dzikir (ingat), atau Mantra agar mencapai kondisi tertentu, atau mendekati Tuhan.

Tikkun Olam,di dalam keluarga Saul Naumann menjadi salah satu isu sentral yang seringkali dibahas, bukan saja kepada Eliza yang masih berusia 11 tahun, tetapi kepada istri Saul, yaitu Miriam atau Mimi, dan putra Saul, Aaron. Saul, biasanya membicarakan Tikkun Olamkepada istrinya di saat mereka sedang berbicara berdua atau bahkan ketika sedang melakukan hubungan intim. Saul dan Miriam selalu mengulang-ulang Tikkum Olamdi dalam percakapan intim mereka. 

Hal tersebut dilakukan Saul untuk memberi pemahaman kepada Mimi bahwa di dunia ini manusia tidak sendirian, mereka bisa menghubungkan diri dengan orang lain, salah satunya adalah melalui hubungan di antara mereka berdua. Sedangkan Aaron, juga Eliza mendapatkan pemahaman mengenai Tikkun Olamketika mereka sedang menghampiri Saul di kelas, ketika Saul sedang memberi kuliah kepada mahasiswanya.

Cerita mengenai keluarga Saul di atas terdapat di dalam film yang berjudul Bee Season.Ceritanya menarik karena persoalan spiritualitas dikemukakan dengan cara yang unik, yaitu melalui persoalan mengeja, kemudian pada akhirnya, melalui Kaballah. Bee Seasonpun mengusung persoalan antara spiritualitas sebagai kualitas yang dibutuhkan oleh manusia, dan persoalan konflik kehidupan. Bee Seasonbisa menjadi salah satu contoh untuk pertanyaan, apakah spiritualitas merupakan pelarian dari manusia. Ataukah spiritualitas adalah hasil dari konflik yang dialami oleh manusia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun