by dr.Riki Tsan,SpM,MHKes
( Mahasiswa Fakultas Hukum UTA'45, Jakarta,Prodi Doktoral-S3 )
Belakangan ini, jagad maya digegerkan oleh beberapa kasus perbuatan asusila yang menghebohkan dan mengguncang profesi dokter di Indonesia.
Salah satu kasus asusila tersebut adalah kasus seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan (SpOG), yang tertangkap dan terekam kamera CCTV melakukan pelecehan kehormatan seorang wanita, saat dia melakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) terhadap si wanita di sebuah klinik di Garut, Jawa Barat.
Hanya dalam tempo yang singkat, dokter yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka pelaku tindak pidana oleh aparat penegak hukum setelah dilakukan pemeriksaan dan rekomendasi oleh Majelis Disiplin Profesi (MDP) Kementerian Kesehatan RI.
Dia diancam dengan pidana penjara karena disangka telah melakukan kekerasan seksual berdasarkan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) nomor 12 Tahun 2022 dan juga Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)-WvS.
Terkait dengan berbagai kasus asusila yang dilakukan oleh tenaga medis (dokter/dokter gigi), Kompas TV melakukan wawancara daring dengan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Dr.dr.Slamet Budiarto,SH,MH pada tanggal 21 April 2025.
Pewawancara bertanya bagaimana menjelaskan munculnya kasus kasus perilaku asusila atau kekerasan seksual yang dilakukan oleh dokter ?.
Siapakah yang memiliki tugas dan kewenangan dalam menilai serta mengawasi perilaku etika seorang dokter ?.
Dr. Slamet menjawab, setelah Undang Undang Kesehatan (omnibus) nomor 17 tahun 2023 ( UU Kesehatan)Â diberlakukan, organisasi profesi IDI, sebagai 'rumah besar' dokter di Indonesia tidak lagi memiliki kewenangan memeriksa kelayakan seorang dokter untuk melakukan praktik profesi dan kemudian menerbitkan rekomendasi izin praktik
Sebagaimana diketahui, pasal 38 Undang Undang Praktik Kedokteran nomor 29 tahun 2004, menyebutkan bahwa untuk mendapatkan Surat Izin Praktik (SIP), dokter maupun dokter gigi harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan juga memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
Organisasi profesi yang dimaksud adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) untuk dokter gigi.
Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI masa bakti 2022-2025, Dr. dr. Beni Satria,SH,MH Â mengatakan bahwa, surat rekomendasi IDI berfungsi sebagai salah satu alat validasi di masyarakat untuk memastikan praktik yang dilakukan dokter terhadap pasien aman dan sesuai kaidah etik kedokteran (CNN)
Namun sayangnya , Undang Undang Praktik Kedokteran 29/2004 ini telah dicabut seiring dengan diberlakukannya UU Kesehatan 17/2023, yang sekaligus mencabut kewenangan IDI untuk mengeluarkan rekomendasi buat dokter untuk melakukan praktik profesi.
PENCABUTAN OTONOMI PROFESI
Pencabutan kewenangan organisasi profesi (OP) dan pelemahan peranan organisasi profesi OP IDI/PDGI ini tidak hanya terkait dengan rekomendasi izin praktik saja, tetapi juga hal hal lain dalam konteks otonomi profesi seperti :
- Pencabutan ketunggalan organisasi (OP).
UU Praktik Kedokteran 29/2004 menegaskan OP IDI/PDGI diakui sebagai entitas tunggal (pasal 1 angka 12 dan pasal 6), sedangkan UU Kesehatan 17/2023 menyebutkan bahwa  tenaga medis/kesehatan 'dapat' membentuk organisasi profesi (pasal 311 ayat 1). Pasal ini  memungkinkan dibentuknya banyak organisasi profesi, yang lazim disebut dengan multi bar - Pencabutan rekomendasi STR
UU Praktik Kedokteran menyatakan bahwa Surat Tanda Registrasi (STR) diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dengan pertimbangan dari organisasi profesi (pasal 30), sedangkan UU Kesehatan menegaskan bahwa STR diterbitkan oleh Konsil atas nama Menteri Kesehatan tanpa keterlibatan organisasi profesi (pasal 260) - Pencabutan kewenangan pembinaan dan pengawasan etik
UU Praktik Kedokteran memberikan kewenangan OP untuk aktif dalam pembinaan etik serta dapat memberikan sanksi etik sebelum tindakan hukum dilakukan (pasal 50-53). Namun, UU Kesehatan mencabut kewenangan ini dan memberikan pengawasan etik berada sepenuhnya di bawah kendali pemerintah, sedangkan organisasi profesi tidak disebutkan sebagai aktor etik utama - Penghilangan peranan OP dalam Kolegium
Kolegium dibentuk dan dijalankan oleh organisasi profesi walaupun tidak secara eksplisit diatur dalam undang undang, tetapi berdasarkan praktik dan Surat Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia (SK KKI). Namun di dalam UU Kesehatan, Kolegium berada di bawah kontrol langsung Menteri Kesehatan (pasal 270-272) - Penghilangan peranan OP dalam pemberian sanksi etik
Di dalam UU Praktik Kedokteran , dokter/dokter gigi yang melakukan pelanggaran etik kedokteran dikenakan sanksi lebih dahulu oleh organisasi profesi sebelum sanksi administratif atau pidana (pasal 50). Sementara di dalam UU Kesehatan tidak ada lagi kewenangan OP untuk menjatuhkan sanksi etik.
ANALISIS POLITIK HUKUM
Pencabutan kewenangan organisasi profesi (OP), penghilangan eksistensi dan pelemahan peranan organisasi profesi yang dapat diidentifikasi di dalam UU Kesehatan tersebut tentu saja tidak terlepas dari politik hukum yang berada dibalik pembuatan undang undang tersebut.
Prof.Dr.Siti Nur Azizah, SH,MHum pada mata kuliah Politik Hukum di Fakultas Hukum UTA'45,Prodi S2 dan S3, mengatakan bahwa politik hukum adalah kemauan atau kehendak negara terhadap hukum.
Di dalam politik hukum, kita bertanya untuk apa hukum itu diciptakan, apa tujuan penciptaan hukum dan kemana arah yang hendak dituju dengan hukum yang diciptakan tersebut ?.
Beliau melanjutkan, Â bahwa politik hukum ( legal policy) merupakan garis atau dasar kebijakan untuk menentukan hukum yang seharusnya berlaku dalam negara. Politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku yang mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Di dalam konsideran Undang Undang Kesehatan 17/2023 Â disebutkan bahwa undang undang ini dibuat diantaranya dengan tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lewat transformasi kesehatan, penguatan sistem kesehatan secara integratif dan holistik serta mendorong peningkatan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu.
Namun kalau kita mencermati Undang Undang Kesehatan 17/2023 ini, ada pergeseran paradigma politik hukum yang sangat signifikan dibandingkan Undang Undang Praktik Kedokteran 29/2004.
Kita melihat bahwa UU Praktik Kedokteran 29/2004 mengedepankan prinsip self-regulation dengan kepercayaan terhadap organisasi profesi sebagai penjaga etik, disiplin, kompetensi dan martabat dokter. Sementara, UU Kesehatan 17/2023 menunjukkan pendekatan state-centric atau state regulation di mana negara mengambil alih sepenuhnya kewenangan dan peran organisasi profesi tersebut.
Dari sudut pandang politik hukum, pergeseran ini mencerminkan konsolidasi kekuasaan negara terhadap profesi yang kemudian menimbulkan berbagai implikasi, seperti :
- Terjadinya perubahan paradigma politik hukum
Politik hukum Indonesia dalam UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 tampaknya menunjukkan kecenderungan reduksi independensi profesi dengan negara mengambil alih fungsi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan dan sentralisasi kekuasaan administratif dalam tangan Menteri Kesehatan, yang sebelumnya tersebar melalui organisasi profesi lembaga mandiri dan independen seperti KKI.
Peralihan dari self-regulation ke state-regulation mencerminkan pergeseran paradigma hukum dari model liberal ke model sentralistik. - Pengingkaran terhadap asas lex specialis dan prinsip checks and balances
UU Praktik Kedokteran 29/2004 bersifat lex specialis dalam pengaturan praktik kedokteran.
Namun, ketika UU Kesehatan 17/2023 mengabaikan atau menabraknya, maka terjadilah kekacauan sistem normatif dan tumpang tindih kewenangan. Penghilangan peran pengawasan etika oleh organisasi profesi menghilangkan salah satu bentuk checks and balances non-negara dalam sistem hukum profesi. - Melemahkan akuntabilitas etika dan profesionalisme
Self-regulation dalam profesi adalah mekanisme untuk menjamin standar etik, integritas dan kompetensi, yang dibentuk oleh mereka yang memahami praktik profesi itu sendiri. Maka, dengan negara sepenuhnya mengambil alih, dikhawatirkan pendekatan menjadi birokratik, legalistik, dan tidak responsif terhadap dinamika etik profesi. - Implikasi terhadap hak konstitusional dan kebebasan berserikat
Hilangnya peran tunggal organisasi profesi juga dapat dibaca sebagai bentuk pemberangusan hak berserikat dan berkumpul yang dijamin dalam Pasal 28E UUD 1945. Negara tidak semestinya membatasi eksistensi dan peran organisasi profesi secara substantif, apalagi menggantikan fungsinya secara total. - Potensi intervensi politik dan kesenjangan profesional
Bila regulasi dipegang sepenuhnya oleh negara, maka muncul risiko intervensi politik dalam penentuan standar profesi, disiplin, dan sanksi. Hal ini bisa menyebabkan profesi kehilangan otonomi keilmuan, dan dokter menjadi subordinat birokrasi, bukan pelaku profesional yang merdeka secara keilmuan dan etika.
KHULASAH
Perubahan ini menunjukkan adanya arah politik hukum yang menempatkan negara sebagai aktor tunggal dalam pengaturan profesi, yang berisiko menimbulkan reduksi otonomi profesi dan kemunduran demokrasi professional, konflik norma dan perundang-undangan serta potensi penurunan kualitas layanan kesehatan akibat melemahnya pengawasan etik internal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI