Namun kalau kita mencermati Undang Undang Kesehatan 17/2023 ini, ada pergeseran paradigma politik hukum yang sangat signifikan dibandingkan Undang Undang Praktik Kedokteran 29/2004.
Kita melihat bahwa UU Praktik Kedokteran 29/2004 mengedepankan prinsip self-regulation dengan kepercayaan terhadap organisasi profesi sebagai penjaga etik, disiplin, kompetensi dan martabat dokter. Sementara, UU Kesehatan 17/2023 menunjukkan pendekatan state-centric atau state regulation di mana negara mengambil alih sepenuhnya kewenangan dan peran organisasi profesi tersebut.
Dari sudut pandang politik hukum, pergeseran ini mencerminkan konsolidasi kekuasaan negara terhadap profesi yang kemudian menimbulkan berbagai implikasi, seperti :
- Terjadinya perubahan paradigma politik hukum
Politik hukum Indonesia dalam UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 tampaknya menunjukkan kecenderungan reduksi independensi profesi dengan negara mengambil alih fungsi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan dan sentralisasi kekuasaan administratif dalam tangan Menteri Kesehatan, yang sebelumnya tersebar melalui organisasi profesi lembaga mandiri dan independen seperti KKI.
Peralihan dari self-regulation ke state-regulation mencerminkan pergeseran paradigma hukum dari model liberal ke model sentralistik. - Pengingkaran terhadap asas lex specialis dan prinsip checks and balances
UU Praktik Kedokteran 29/2004 bersifat lex specialis dalam pengaturan praktik kedokteran.
Namun, ketika UU Kesehatan 17/2023 mengabaikan atau menabraknya, maka terjadilah kekacauan sistem normatif dan tumpang tindih kewenangan. Penghilangan peran pengawasan etika oleh organisasi profesi menghilangkan salah satu bentuk checks and balances non-negara dalam sistem hukum profesi. - Melemahkan akuntabilitas etika dan profesionalisme
Self-regulation dalam profesi adalah mekanisme untuk menjamin standar etik, integritas dan kompetensi, yang dibentuk oleh mereka yang memahami praktik profesi itu sendiri. Maka, dengan negara sepenuhnya mengambil alih, dikhawatirkan pendekatan menjadi birokratik, legalistik, dan tidak responsif terhadap dinamika etik profesi. - Implikasi terhadap hak konstitusional dan kebebasan berserikat
Hilangnya peran tunggal organisasi profesi juga dapat dibaca sebagai bentuk pemberangusan hak berserikat dan berkumpul yang dijamin dalam Pasal 28E UUD 1945. Negara tidak semestinya membatasi eksistensi dan peran organisasi profesi secara substantif, apalagi menggantikan fungsinya secara total. - Potensi intervensi politik dan kesenjangan profesional
Bila regulasi dipegang sepenuhnya oleh negara, maka muncul risiko intervensi politik dalam penentuan standar profesi, disiplin, dan sanksi. Hal ini bisa menyebabkan profesi kehilangan otonomi keilmuan, dan dokter menjadi subordinat birokrasi, bukan pelaku profesional yang merdeka secara keilmuan dan etika.
KHULASAH
Perubahan ini menunjukkan adanya arah politik hukum yang menempatkan negara sebagai aktor tunggal dalam pengaturan profesi, yang berisiko menimbulkan reduksi otonomi profesi dan kemunduran demokrasi professional, konflik norma dan perundang-undangan serta potensi penurunan kualitas layanan kesehatan akibat melemahnya pengawasan etik internal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI